A. HAKIKAT APRESIASI
Hakikat apresiasi adalah suatu langkah untuk mengenal,memahami dan menghayati suatu karya yang berakhir dengan timbulnya pencelupan atau rasa menikmati karya tersebut.
B. Proses Apresiasi
:
1.
Upaya
mengeksplorasi jiwa pengarang ke dalam bentuk bahasa yang akan
disampaikan kepada orang lain
2.
Upaya menjadikan
sastra media komunikasi antara Pengarang atau pencipta dan peminat sastra
3.
Upaya menjadikan
sastra sebagai alat penghibur dalam arti pemuas hati peminat sastra
4. Upaya menjadikan isi karya sastra sebagai bentuk ekspresi pengarang atau sastrawan.
Untuk mengapresiasi karya sastra atau teks sastra
perlu dilakukan aktivitas sebagai berikut:
a. Mendengarkan /menyimak
b. Membaca
c. Menonton
d. Mempelajari bagian-bagiannya
e. Menceritakan kembali
f. Mengomentari
g. Meresensi
h. Membuat parafrase
i.
Menjawab pertanyaan-pertanyaan
yang berkaitan dengan karya sastra
j.
Merasakan seperti
; mendeklamasikan ( untuk puisi) atau melakonkan (untuk drama)
k. Membuat sinopsis cerita dan sebagainya.
C.
Jenis Apresiasi :
a.
Memberikan
penilaian dan penghargaan yang positif bagi semua karya sastra.
b.
Memberikan
penjelasan secara objektif dan mempertanggungjawabkan sikap kepada orang lain.
c.
Menarik pikiran
dan perasaan atau jiwa seninya.
d.
Merespons karya
dengan bentuk sikap atau apresiatif kinetik dan sikap tindakan atau apresiatif
bersifat verbalitas.
Apresiasi
bersifat kinetik : sikap
memberikan minat pada sebuah karya sastra lalu berlanjut keseriusan
untuk melakukan langkah-langkah apresiatif secara aktif.
Apresiasi bersifat verbal : pemberian penafsiran, penilaian dan penghargaan yangberbentuk penjelasan, tanggapan, komentar, kritik, dan saran, serta pujian baik lisaan maupun tulisan.
Hirarki keseusasatraan Indonesia :
1) Prosa
2) Puisi
3) Drama
4) Film
Karya sastra yang menjadi acuan dalam pembelajaran
ini, menyangkut karya sastra bentuk prosa, puisi. Drama, dan film, seperti
tersebut di atas.
D.
PROSA
Prosa itu merupakan Jenis karya sastra yang bebas
tanpa terikat adanya unsur, rima, ritma, maupun metrum/matra, seperti halnya
puisi. Prosa merupakan karya sastra yang berbentuk penceritaan atau pengisahan.
Yang tergolong karya sastra bentuk prosa misalnya; cerpen, novel, roman, dongeng, anekdot, kisah perjalanan hidup (biografi)
dan sebagainya.
Menganalisis
Prosa
a.
Berdasarkan unsur
pembangunnya, suatu prosa dibangun oleh dua unsur, yakni;
1)
Unsur Instriksik, (unsur yang membangun dari dalam, yang merupakan berpijaknya suatu karya
itu diciptakan). Yang termasuk unsur instrinsik prosa; antara lain : tema,
amanat, tokoh, penokohan, alur, sudut pandang, gaya bahasanya.
2) Unsur Ekstrinsik, (unsur yang membangun dari luar). Bahwa setiap karya yang diciptakan selalu melukiskan adanya; latar belakang kehidupan pengarangnya). Misalnya; pendidikannya; kebudayaan yang diikuti; politik, perekonomian, sosial; pandangan hidup, dan sebagainya.
b.
Berdasarkan
Strukturnya; prosa dibangun dengan struktur sebagai berikut;
1)
Abstrak
2)
Orientasi
3)
Komplikasi
4)
Evaluasi
5)
Resolusi
6) koda
UNSUR INSTRINSIK PROSA
1.
Tema
Tema merupakan pokok pikiran atau ide yang melandasi suatu cerita itu dikembangkan. Tema merupakan bingkai dari cerita. Suatu cerita alurnya mengarah pada ide/pokok persoalan. Tokoh dan unsur lainnya, akan membangun suatu cerita yang mengarah pada pokok persoalannya.
Tema Utama dalam karya sastra Indonesia:
1)
Percintaan
2) Sosial
3) Budaya
4) Politik
5)
Religiusitas
Perhatikan contoh penggalan cerita berikut!
(1)
Hesti sebenarnya tidak sedikitpun memiliki rasa simpati kepada pemuda itu.
Namun karena menjaga rasa menghormati keputusan orang tuanya, maka Hesti
terpaksa menuruti kehendak ayahnya untuk menerima cintanya Dodik. Walaupun
sebenarnya Hesti tahu, bahwa kelak akan membawa keluarganya yang kurang
harmonis.
- Penggalan cerita di atas yang dibahas mengenai
percintaan
- Percintaan yang dibangun oleh pengarang secara
dipaksakan
Maka, tema atau pokok persoalannya mengenai “Kawin Paksa”
(2)
Penggalan Novel
Judul : Warung Panajem, Ahmad
Tohari)
Bunyi yang kering dan tajam selalu terdengar setiap kali mata cangkul Kartawi menghujam tanah tegalan yang sudah lama kerontang. Setiap kali pula debu tanah kapur memercik. Pada setiap detik yang sama Kartawi merasa ada sentakan keras terhadap otot-otot tangan sampai ke punggungnya. Dan petani muda itu terus mengayunkan cangkul. Maka suara yang kering tajam, percikan debu, dan sentakan-sentakan otot terus runtut terjadi di bawah matahari kemarau yang terik. Kaos oblong yang dipakai Kartawi sudah basah oleh keringat. Kedua kakinya penuh debu hingga kelutut. Dan di bawah bayangan caping bambu yang dipakainya, wajah Kartawi tampak lebih tua dan amat letih.
Pertanyaan :
·
Apa
yang dibahas dalam penggalan novel di atas.
· Tunjukkan kata kunci yang menggambarkan tema/pokok persoalan
(3)
Sejak awal pertemuan hingga masa terus berlalu, tak pernah menyangka kalau akhirnya Peno harus meninggalkan Rani begitu saja. Cinta yang dibangun puluhan tahun tidak membentuk mahligai rumah tangga. Rani, harus menerima kepahitan dalam hidupnya. Kini Peno harus menuruti kehendak orang tuanya.
Pertanyaan :
·
Apa
yang diungkapkan pengarang dalam penggalan cerita di atas
·
Tunjukkan
kata kunci yang melukiskan tema/persoalan pokok.
2.
Tokoh/Pelaku
a.
Tokoh
bijak/baik, atau tokoh yang mendukung pokok persoalan/temanya. Tokoh yang
mendukung tema, tidak menyimpang dan berlaku baik disebut tokoh PROTAGONIS
b. Tokoh yang menyimpang/menentang pokok persoalan/tema, disebut tokoh ANTAGONIS
Dalam setiap cerita karangan, penulis selalu mengkondisikan kedudukan tokoh sebagai Protagonis dan Antagonis. Tujuannya agar terjadi komplikasi (konflik). Namun, jika dalam cerita dibangun terus menerus terjadi konflik, cerita tidak menarik, maka perlu adanya tokoh penyeimbang, yang disebut tokoh TRITAGONIS. Maka dalam setiap tokoh harus dikondisikan memiliki cara dan gaya yang berbeda, itulah yang disebut Perwatakan/karakter/penokohan.
3.
Penokohan
Penokohan
merupakan salah satu unsur instrinsik karya sastra, di samping tema, plot,
setting, sudut pandang, dan amanat.
Penokohan adalah cara pengarang untuk menggambarkan dan mengembangkan
karakter/watak tokohnya dalam cerita.
Untuk
menggambarkan karakter seorang tokoh dalam cerita, pengarang dapat menggunakan
teknik, sebagai berikut :
a.
Teknik analitik,
karakter tokohnya dalam cerita digambarkan secara langsung oleh pengarang
b.
Teknik dramatik,
karakter tokohnya dalam cerita digambarkan melalui:
Ø
Penggambaran fisik dan
perilaku tokoh
Ø
Penggambaran lingkungan
kehidupan tokoh
Ø
Penggambaran dari gaya
bahasa dialog tokohnya
Ø
Pengungkapan jalan pikiran
tokoh
Ø
Penggambaran melalui tokoh
lain
Perhatiakan penggalan cerita berikut ini :
(1)
Tiada tandingannya pada itu
jaman, bijaksana arif budiman. Tiada melanggar hadis dan firman taat kepada
Illahi Rahman …, sekalian larangan tidak berani.
Penggambaran watak tokoh yang bijaksana, arif, taat, dan sebagainya dilukiskan secara langsung oleh pengarangnya. (cara Analitis)
(2)
Kartawi menelan ludah. Ia
merasa ada gelombang pasang naik dan menyebar ke seluruh tubuh pembuluh
darahnya. Di bawah cahaya lampu listrik 10 watt, wajahnya tampak sangat berat
dan kecut.
Penggambaran penokohan penggalan kisah di atas dilukiskan melalui fisik dan perilaku tokohnya.
(3)
Ruang tamu sudah demikian rusak, berantakan, lebih
dari kalau anak-anaknya mengadakan pesta ajojing pada ulang tahun mereka.
Sementara itu Roh dan kedua temannya masih saja ngorok dengan sejahtera.
Penggambaran dari lingkungan kehidupan tokohnya
(4)
Dengan lincah Desi memasuki ruang tengah rumahnya. Sore itu tidak ada bekas habis hujan. Langit cerah, secerah wajah Desi. Ketika masuk pintu, sudah ditunggu beberapa teman yang sedang berbincang dengan ibunya. “Halo, Peno, Rani, Uci...sudah lama menunggu saya ya. Maaf, aku agak terlambat, di jalan terjadi macet...”
Perwatakan tokoh Desi : ceria, ramah. Dibuktikan melalui penggambaran sikap dan ucapannya.
4.
Alur (plot)
Alur
merupakan Jalan cerita atau cara pengarang bercerita. Alur merupakan rangkaian
atau tahapan serta pengembangan cerita.
Secara
umum jalan cerita terbagi atas bagian-bagian, antara lain;
a. Pengenalan situasi cerita (exposition)
Dalam bagian ini pengarang
mengenalkan para tokoh, mulai menata edegan dan hubungan antartokoh.
b. Pengungkapan peristiwa (complitation)
Dalam bagian ini disajikan
peristiwa awal yang menimbulkan berbagai masalah, pertentangan, ataupun
kesukaran-kesukaran bagi para tokohnya.
c. Menuju adanya konflik (rising action)
Terjadi peningkatan perhatian
kegembiraan, kehebohan, ataupun keterlibatan berbagai situasi yang menyebabkan
bertambahnya kesukaran tokoh.
d. Puncak konflik (turning point)
e. Bagian ini disebut pula
sebagai klimaks. Inilah bagian cerita yang paling besar dan mendebarkan. Pada
bagian ini pula, ditentukan perubahan nasib beberapa tokohnya. Misalnya; apakah
dia berhasil menyelesaikan masalah atau sebaliknya tokoh gagal untuk menyelesaikan
masalah yang dihadapi.
f.
Penyelesaian (ending)
Sebagai akhir cerita, pada bagian
ini berisi tentang penjelasan nasib-nasib yang dialami tokohnya setelah
mengalami peristiwa puncak itu. Tapi ada pula novel yang menggantungkan penyelesaiannya,
maka perlu imajinasi pembacanya agar menentukan sendiri menurut pemikiran
pembacanya.
Perhatian contoh :
Penyelesaian
Pengenalan cerita
Konflik merupakan inti dari suatu alur. Konflik merupakan terjadinya pertentangan. Pertentangan dalam kehidupan itu bisa terjadi pada dirinya sendiri (konflik batin); pertentangan antara manusia dengan manusia, pertentangan antara manusia dengan lingkungannya (ekonomi, politik, agama, sosial, dan budaya, dsb.); pertentangan manusia dengan Tuhan atau keyakinannya.
Simaklah penggalan cerita berikut ini
Heri menghela napas panjang.
Ichennya yang sederhana yang telah merenggut seluruh hatinya, telah berubah dan
tak mau lagi mengenal dirinya. Heri merasa diombang-ambing perasaan dan hatinya
oleh permainan yang diciptakan Ichen. Apakah kini ia telah melupakan
ketertarikannya pada Ichen? Atau, akan menghentikan perburuannya dengan adanya
perubahan yang telah ditunjukkan gadis itu? Ternyata tidak sama sekali. Heri
justru merasa tertantang. Ia penasaran, apa yang diinginkan Ichen sebenarnya?
Lalu, siapa pria muda yang menjemputnya tadai?
Kalau dilihat dari sikapnya,
jelas pria tadi sangat dekat hubungannya dengan Ichen. Kekasihnyakah? Atau tunangannya?
Mereka jelas datang dari etnis yang sama.
Menyadari hal itu semua
membuat Heri jadi orang linglung. Kalau pada mulanya Heri tertarik pada Ichen
karena kesederhanaan dan pesona gadis itu, kini, selain daya tarik itu, adalah
karena kepandaian gadis itu berperan. Bagaimana mungkin dalam waktu yang begitu
singkat ia bisa berubah penampilan. Siapakah Ichen sebenarnya? Dan apa maunya
gadis itu?
Heri baru memarkir mobil di depan rumahnya saat dirasakannya ada bayangan yang berkelebat di belakangnya. Ketika menoleh, ternyata Ichen sudah berdiri di ujung pagar rumahnya. Heri tertegun memandang Ichen. Gadis ini sekarang sudah berubah lagi penampilannya. Tadi, di pemakaman, ia tampil modern dan modis. Kini sudah kembali seperti pertama kali mereka bertemu: lugu dan bersahaja sekali. (Ichen dan Ichen, Rosida
Setelah kalian membaca kutipan novel di atas, cukup tergambar tentang bentuk konflik yang menggerakan novel tersebut. Konflik-konflik tersebut berupa :
a.
Pertentangan tokoh utama
dengan Ichen, yang menjadikannya keheranan dan bertanya-tanya
b.
Pertentangan tokoh utama
dengan batinnya sendiri, antara menghentikan petualangannya memikat hati Ichen
dan meneruskannya.
5.
Latar
Latar (setting) merupakan salah satu unsur instrinsik karya sastra. Terliput ke dalam latar, antara lain; keadaan, tempat, waktu, dan budaya. Latar dalam suatu kisah/cerita merupakan pijakan di mana, kapan, bagaimana, seperti apa cerita itu mulai dikisahkan.
Perhatikan penggalan cerita berikut :
Pagi ini, lihatlah. Padang berembun. Sebagai sebuah kota pantai, hal ini termasuk jarang. Burung gereja yang selalu setia pada kubus-kubus beton, melayang dengan lambung, lalu menukik dengan sasaran hinggap akhir selalu saja tali-temali listrik dan telepon. Di Jalan, mobil-mobil sejak subuh telah berseliweran. Dan yang mencolok, bus kota sesak-sesak, nyaris oleng, dengan suara kernet yang senantiasa lantang: “Kosooongng, kosoooongng…!"
Pengarang
memilih kota Padang dan waktu pagi dalam penggalan cerita tersebut tentunya
bukanlah suatu kebetulan. Pengarang memilih latar tersebut tentunya didasari
oleh kepentingan atas tema, alur, penokohan cerita itu. Dengan demikian,
kehadiran suatu latar berkaitan erat dengan unsur instriksik lainnya dalam
suatu cerita.
Namun
tentu saja pemilihan latar tidak hanya didasari oleh unsur instrinsik itu saja,
tetapi juga ditentukan oleh kepentingan pengarang untuk memberi kesan menarik kepada pembacanya.
6. Sudut Pandang (Point of view)
Yaitu
posisi pengarang dalam membawakan kisah/cerita. Posisi pengarang dalam membuat
suatu kisah/cerita, dapat secara langsung sebagai tokoh utama (orang Pertama)
dalam kisahnya, atau dapat pula posisinya sebagai pengamat saja, di samping itu
pengarang ada juga yang sama sekali tidak terlibat dalam kisah itu, pengarang
berada di luar cerita. (orang ketiga)
Dengan demikian sudut pandang berlaku sebagai orang pertama pelaku utama, dan orang pertama tokoh sampingan (pengamat). Sedangkan sudut pandang orang ketiga berlaku sebagai orang ketiga serba tahu, dan orang ketiga di luar cerita.
Perhatikan penggalan cerita di bawah ini :
1)
Di HIS semua murid harus
berbahasa Belanda. Tapi ayah selalu mewajibkan kami berbahasa Jawa.
Suatu hari, ketika aku asyik bermain dengan teman-teman, Maryam memaksa
pulang karena kami akan mengungsi ke kampung Batan. Kami mengungsi di sini
bersama-sama pengungsi lain.
Pengarang dalam mengisahkan tokohnya menggunakan istilah ‘aku’, dan ‘kami’ atau mungkin ‘saya’ sehingga dalam hal ini pengarang sendiri terlibat menjadi tokoh utamanya. Kisah yang demikian inilah yang disebut menggunakan sudut pandang orang pertama.
2)
Pada suatu hari Idrus pergi
ke rumah kekasihnya, Juwita. Ditemukannya Juwita pulang dengan seorang laki-laki
bernama Mochtar. Idrus sangat sakit hatinya setelah mengetahui bahwa kekasihnya
telah mengandung. Idrus sangat menyesal mendengar semua ini, karena Mochtar
telah beristri dan mempunyai anak.
Penggalan kisah di atas,
pengarang menceritakan tokoh lain yang dikisahkan melalui gaya pengarangnya,
namun pengarang sama sekali tidak terlihat hadir dalam tokoh cerita itu, maka
sudut pandang yang digunakan pengarang adalah orang ketiga. (dia, ia, mereka,
dsb)
TUGAS!
Baca/simak dengan seksama
kutipan di bawah ini!
PENANTIAN
Karya Nilawati H.W.
Gadis itu masih duduk di bawah pohon mempelam di tepi jalan, tak jauh
dari terminal bus yang selalu hingar-bingar. Raut wajahnya yang cantik masih
tampak nyata, meski kini telah menjadi kusam lantaran tak pernah lagi tersentuh
bedak. Begitu pula rambutnya yang sedikit ikal dan tampaknya sedap untuk
dibelai, kusut tergerai tersapu angin.
Pelan-pelan jarinya membuka tas plastik yang tergolek di pangkuannya
sambil matanya melirik ke kiri-kanan, seolah-olah ia takut kalau-kalau ada yang
memata-matainya.
Sejenak ia menarik nafas lega saat selembar foto tersembul keluar yang
segera diiringi dengan senyumnya, bagaikan menyenyumi wajah pemuda tampan yang
terpampang di situ.
“Mas, aku rindu sekali… Aku kangen. Kapan kau datang, Mas…?”, desah lirih keluar dari bibirnya yang kedua
sudutnya sebentar-sebentar melengkung turun, menahan isakan tangis. “aku telah lama menunggumu di sini… seperti
pesanmu, aku harus selalu sabar menunggu…”
Sesaat kemudian gadis itu menatap tajam mobil-mobil yang lalu-lalang di
depannya. Terlebih lagi jika yang lewat itu mobil sedan biru, jantungnya
berdebar-debar dan sesudah itu boleh dipastikan ia akan berlari-lari
mengejarnya.
“Mas! Mas! Tunggu aku, Mas …”
Tetapi siapa yang mau menggubrisnya, menghentikan mobil dan membukakan pintunya buat gadis yang kusam itu. Mereka melahan mengumpat dan menjauh secepatnya lantaran menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Gadis itu jadi
kecewa. Tiada mobil yang sudi berhenti untuknya. Ia pun berhenti berlarian
mengejar mobil-mobil. Bisa jadi lantaran lelah, tetapi mungkin juga ia mulai
sadar. Tak seperti dulu beberapa tahun lalu ketika ia pertama kali bertemu
dengan Hari di tempat yang sama, tak jauh dari terminal bis. Saat itu ia memang
benar-benar kaget karena tiba-tiba sebuah sedan biru berhenti di dekatnya.
“Maaf, Dik.
Bolehkah saya bertanya…?”
“Ohh, tentu
saja…”
“Saya hampir
kehabisan bensin. Sudikah Adik menunjukkan tempat penjualan bensin?” Pemuda itu
berkata seraya membuka pintu mobilnya. Wajahnya yang tampan menyorotkan sinar
kejujuran dan ini membuat si gadis tidak segan untuk masuk ke dalam mobil dan
duduk di sebelahnya.
“Terima kasih. Kenalkan, saya Hari Setia. Panggil saja Hari..”, ujar si pemuda seraya mengulurkan tangan."
“Saya Titi.
Titisari…”, sahut si gadis menjabat tangan si pemuda. Sejenak keduanya terdiam,
namun di kedua dada mereka dialog gencar lebih berarti daripada seribu kata
yang terucap lewat bibir.
Bagi Hari
sendiri, Titisari merupakan potret idaman hatinya. Rambutnya yang setengah ikal
tersanggul sederhana dan beberapa bagian dibiarkannya terlepas menutup
lekuknya. Bibirnya yang tipis memerah asli, bukan polesan lipstick seperti gadis-gadis kota. Begitu pula kebaya dan kainnya sangat
sederhana membuat pesona indah di hati Hari.
Itulah
pengalaman pertama Titisari, seorang gadis desa duduk dalam mobil mewah
ditemani seorang pemuda tampan yang sopan dan baik hati. Titisari diantar
pulang oleh Hari dan mobilnya berhenti di tempat semula.
“Bolehkah saya
bertemu lagi dengan Titi di tempat ini?”
Hari memberanikan diri bertanya namun Titisari seperti berat untuk
mengiakan. Ia menundukkan kepala sementara ibu jari kakinya menggores-gores di
tanah. Hari tersenyum. “Bagaimana, bolehkah?”
Tersipu malu.
Titisari akhirnya menganggukkan kepala sebagai tanda setuju. Maka perjumpaan-perjumpaan berikutnya
berlangsung dengan manisnya.
Setiap kali,
Titisari selalu menanti di bawah pohon mempelam dekat terminal dan setiap kali
pula hatinya berdebar keras jika Hari dan sedan birunya muncul serta berhenti
di dekatnya. Percitaan mereka seperti
dalam cerita saja. Suci—syahdu, meski
diwarnai oleh kekontrasan yang mencolok.
Hari orang kota, anak orang kaya dan sebentar lagi meraih gelar
insyinyur, sedang Titi anak desa, miskin dan sekolahnya hanya sampai sekolah
dasar.
“Rasanya
seperti khayalan mimpi saja jika saya mengharap Mas Hari benar-benar sudi
mempersunting saya, anak orang desa yang mis…”
Kata-kata Titisari terhenti ketika telunjuk Hari menutup bibirnya.
“Jangan
teruskan kata-kata itu, Titi. Aku tak peduli, sekalipun engkau hanya anak desa”
tukas Hari meyakinkan. “Sudah bukan zamannya untuk membeda-bedakan derajat dan
kekayaan dalam mempersatukan hati yang bercinta. Kau tak perlu lagi bimbang Titi…”
Butiran air
mata mengembun di sudut mata Titi, lalu meleleh jatuh di pipi. Ia merebahkan
kepalanya di dada Hari. Satu kemantapan
semakin kokoh di hati Titi, bahwa Hari adalah benar-benar ditakdirkan untuk
mencintainya.
Namun, harapan
seringkali bertentangan dengan kenyataan. Ketika orang tua Hari mengetahui
percintaan anaknya dengan gadis desa miskin itu, mereka pun langsung
menentangnya. “Ingat Hari, kau jangan
terlalu menuruti keinginanmu tanpa persetujuan orang tua. Mau kautaruh mana harga diri orang tuamu ini?
Bayangkan kelak jika kau memperistri orang desa itu dan kedudukanmu sebagai
orang penting di masyarakat akan memudar lantaran dia hanya lulusan sekolah
dasar!” Damprat ayahnya. Hari mencoba menentangnya, namun ia tak
berdaya. Kekuasaan ayahnya terlalu kuat,
bagaikan hempasan badai yang tak pernah surut dan Hari pasti akan terhempas ke
batu karang jika berani menentangnya.
Suatu siang,
selagi Titi menunggu di bawah pohon mempelam di dekat terminal, seorang
laki-laki tua muncul. “Kau akan sia-sia
menunggu Hari, Nak. Ia telah pergi jauh dan tidak mencintaimu lagi. Lupakan
dia, Nak. Demi kebaikanmu sendiri dan juga kebaikannya …”
“Tidak.
Tidaaaaak! Ia telah berjanji akan menjadi suamiku…”, Titi berlari sambil berteriak menjauh orang
tua itu. “Kau pasti bohong! Bohooooong!”
Siang itu,
Titi masih menatap potret Hari di genggamannya. Hari seolah mengajaknya
tersenyum, seperti biasanya setiap ia menghentikan mobil dan membukakan pintu
serta mempersilakan Titi naik ke dalam. Lalu Titi pun ikut tersenyum panjang
dan semakin panjang, disusul derai ketawa keras bercampur suara mesin mobil
yang lalu lalang.
Tetapi kini,
siapa yang sudi memperhatikan gadis malang yang selalu duduk menanti di bawah
pohon mempelam dekat terminal? Siapa….?
Pertanyaan :
- Sebutkan siapa pelaku
utama cerita di atas?
- Bagaimana karakter
masing-masing tokoh utama tersebut?
- Sebutkan siapa saja yang
termasuk pelaku pendamping cerita tersebut?
- Bagaimana awal
penceritaan tersebut terjadi? Di mana kisah itu terjadi? Jelaskan!
- Bagaimana ending cerita
tersebut di atas? Jelaskan!
- Tuluskan hubungan
percintaan tokoh dalam cerita di atas? Tunjukkan buktinya!
- Apa alur cerita yang
digunakan peengarang? Tunjukkan buktinya!
- Apa tema cerita tersebut
di atas?
- Buatlah alternatif penyelesaian (pengakhiran) penceritaan
yang berbeda dengan kisah di atas (menurut pendapat Anda)!
- Tunjukkan bentuk kata
(ungkapan) yang menyatakan makna idiomatik!
Bacalah penggalan novel di bawah ini dengan cermat!
Pesan apakah yang hendak di sampaikan pengarang kepada pembacanya?
Bersama nenek, tidak ada bedanya, bagiku
seperti bersama ibu. Diajarinya aku mencintai tanah dan segala yang tumbuh di
atasnya. Diajarinya aku berbicara dengan suara rendah namun sejelas mungkin.
Tak perlu bernada lebih tinggi dari kawan bicara. Seperti ibuku, nenek
berpendapat bahwa tumbuh-tumbuhan juga berjiwa. Berkali-kali kudapati nenek
berbicara kepada pohon jeruknya, kepada kembang-kembang melatinya, kepada
kambojanya. Ketika aku baru tiba, diperkenalkannya aku pada cangkokan rambutan
yang baru ditanam, kiriman dari seorang saudara yang mempunyai kebun luas di
daerah Betawi. Sikap yang ramah penuh terima kasih selalu ditunjukkannya kepada
pembantu dan petani yang bekerja di rumah maupun di sawah. Kakek dan nenek
meskipun tidak bersamaan keduanya sepakat mengajariku untuk mengerti bahwa kita
tidak bisa hidup sendiri, karena seseorang memerlukan orang lain untuk
merasakan gunanya kehadiran masing-masing.
Kelaakuan yang sama harus pula ditunjukkan kepada semua makhluk termasuk
binatang dan tumbuh-tumbuhan.
Menyimak kutipan
Novel.
Berikut disajikan kutipan novel Jalan Menikung, karya Umar Kayam. Teman Anda atau Guru akan membacakan kutipan
tersebut, siswa menyimak dengan sungguh-sungguh!
HARIMURTI
Waktu Harimurti kembali dari
kamar korekktor, di meja kamarnya dilihatnya ada pesan dari Maryanto, pemimpin
redaksi, yang mengajaknya makan siang di Phonix, sebuah restoran Cina gaya Szechauan yang mewah di bilangan kota.
Wah kok tumben betul Bos mengajak saya ke tempat itu, gumamnya. Apa tidak salah
mengundang nih, tanya hatinya lagi. Tapi
pesan akhir di nota itu jelas betul. “Jangan lupa ya, Har. Jam satu, ruang
tunggu Phoenix.”
Harimurti di belakang mejanya
membalik-balik tumpukan kertas-kertas naskah yang sudah bersih, siap untuk
dicetak. Tetapi pikiranya tidak di situ. Masih menjadi pikiran benar nota kecil
dari bosnya itu. Undangan makan siang itu dirasanya aneh dan sangat tiba-tiba.
Aneh, karena meskipun dia seorang anggota redaksi cukup senior, tetapi tidak
cukup tinggi dan dekat dengan Maryanto yang di kantor penerbit Mulia Mutu yang bergengsi itu dianggap
sebagai dewa yang kedudukannya jauh tinggi di awan, yang nyaris terjangkau oleh
redaktur setaraf Harimurti. Namun, itu tidak berarti bahwa Harimurti adalah
redaktur papan bawah yang jarang masuk hitungan Maryanto. Harimurti tahu
pekerjaannya dinilai baik oleh atasan-atasannya dan Maryanto tidak asing dengan
pekerjaan Harimurti. Itu Harimurti tahu. Namun begitu, undangan siang itu tetap
dianggapnya istimewa dan aneh.
Di Phoenix mereka duduk menghadap
jendela yang lebar yang memberinya pancakar langit Jakarta yang diselimuti
kampung-kampung kumuh para migran pedalaman.
“Kita mulai dengan Bintang dingin
dulu, ya? Mau bir, kan?”
“Saya jus jeruk manis saja.”
“E… lho! Redaktur senior kok…
Okelah. Tapi makannya saya yang pilih. Kita mulai dengan sup kepiting pedas,
lantas udang besar pedas, tahu dengan sayur pedas, nasi putih. Semua serba
pedas. Wong masakan Szechuan,
kok. Cukup, ya? Makan siang jangan
kebanyakan, nanti mengantuk.” Harimurti mengangguk. Kan kamu yang mentraktir,
gumam Harimurti dalam hati.
Waktu minuman dan makanan sesudah itu dihidangkan di meja,
mereka meneguk dan melahapnya dengan penuh selera. Maryanto, meskipun menjamu
bawahan, bersikap rileks dan ramah tanpa beban layaknya seorang bos perusahaan penerbit yang besar. Maka
Harimurti pun merasa rileks juga sikapnya. Semua lelucon bosnya ditanggapi
dengan hangat, sampai tiba-tiba Maryanto memutus percakapan yang hangat itu dan
menggesernya dengan “Begini, Har” yang serius sekali. Maryanto lantas
menceritakan bahwa seminggu sebelumnya dia dikunjungi oleh seorang kawan
lamanya yang sekarang menjadi seorang perwira tinggi intel. Perwira intel
tersebut kemudian langsung menegurnya, karena dia sudah alpa, bahkan teledor
tidak melaporkan kepada Pengawas Keamanan Negara bahwa salah seorang staf
redaksinya yang senior masuk dalam kategori “tidak bersih diri” dalam waktu
yang cukup lama dalam perusahaan yang dia pimpin. “Ini bisa dinilai sebagai
satu pelanggaran yang serius sekali,” katanya.
“Waktu saya tanyakan siapa yang
dia maksud dengan redaktur senior saya yang tidak bersih diri, maka dia
menyebut namamu, Har.”
Harimurti mendengarkan
kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Maryanto dengan tenang, meskipun di
dalam dadanya dia merasakan degup jantungnya berjalan lebih keras lagi.
Kemudian, “Bagaimana pendapatmu, Har?”
“Bukankah saya sudah dibebaskan
dari tahanan bertahun-tahun yang lalu, bahkan jauh sebelum saya kawin. Dan,
yang lebih penting lagi, saya sudah dijamin oleh almarhum pakde saya, seorang kolonel Angkatan Darat, Pak.”
“Ya, itu saya tahu semua. Bahkan,
karena itu kamu kami terima di perusahaan kami. Tapi, kawan saya, sang intel,
itu tidak mau tahu. Semua file harus diperiksa dan ditinjau kembali. Katanya,
“Kami tidak mau kecolongan lagi.” Dia memperingatkan saya, sebagai kawan,
katanya, untuk jangan ragu-ragu memecat kamu dan membuangmu jauh dari
perusahaan kita. Kalau tidak …” Maryanto menarik napasnya panjang-panjang.
Harimurti mendengarkan cerita
Maryanto tetap dengan tenang meskipun hatinya mulai membentuk berbagai kaledoskop dari berbagai pecahan dan
kepingan kenangan dan kemungkinan hari depan. Dia melihat, misalnya, almarhum
bapak dan ibunya berdiri di kejauhan melambaikan tangan mereka dan tersenyum.
Kemudian almarhumah pacarnya, Gadis yang meninggal ketika melahirkan bayi
kembarnya, di rumah tahanan. Kemudian, tempat tahanan dia sendiri. Apakah
cerita Maryanto yang disampaikan kepadanya itu suatu pertanda bahwa dia akan harus
mengulangi penderitaan seperti itu lagi?
Apakah penderitaan itu bagian dari suatu siklus besar penderitaan juga?
Apakah itu termasuk kepercayaan kejawen orang Jawa? Dia mulai melihat juga Eko
yang waktu itu sedang belajar di tingkat sophomore
suatu college kecil di Negara
bagian Connecticut, Amerika Serikat. Eko anaknya dari sepupu jauh dari pihak
almarhumah ibunya, 20 tahun yang lalu. Bagaimana hari depan anak tunggalnya
itu?
“Kalau tidak saya ikuti anjuran
teman saya perwira tinggi intel itu, Har, perusahaan kita akan terpaksa
ditutup.”
Harimurti sudah siap dengan
kalimat terakhir bosnya itu.
“Baik, saya akan mengundurkan
diri, Pak.”
“Terima kasih, Har. Kau tidak
hanya menyelamatkan saya, tetapi berates periuk nasi pekerja perusahaan ini.
Terima kasih, Har.”
Waktu mereka keluar dari Restoran
Phoenix, ternyata di luar hujan gerimis turun. Harimurti menolak tawaran bosnya
untuk naik mobilnya. Dia memilih berjalan kaki dulu, mlipir-mlipir jalan berpembawaan luwes dan santai sepanjang tritisan toko-toko. Tidak dirasanya ada
seekor anjing kurus mengikutinya.
Waktu umur Harimurti mendekati
empat puluh tahun, orang tuanya mengingatkannya bahwa dia sudah cukup tua untuk
membangun keluarga.
“Kau toh tidak dapat terus-menerus larut dalam kesedihan masa lampaumu, Har. Bagaimanapun hidup akan harus kaujalani terus.” Harimurti mendesah dalam hati. Orang tua yang selalu baik hati. Bagaimanapun ucapanmu itu sudah merupakan klise yang berulang kali, beribu kali diucapkan oleh beribu orang tua di seluruh muka bumi, aku tetap akan menerimanya tanpa rasa
bosan dan jengkel. Karena saya tahu tidak terlalu banyak
persediaan harapan yang tersisa bagi anak tunggalmu ini pada hari-hari kalian
sudah semakin menipis ini. Pada suatu ketika, sekian tahun yang lalu,
tahun-tahun prahara itu, kalian sudah hampir memiliki anak menantu, bahkan juga
cucu kembar yang dalam sekali merenggut telah dijemput maut di dalam penjara.
Kalian menghiburku untuk selalu tawakal dan pasrah kepada Gusti Allah, untuk
menerima semua cobaan itu. Dan saya menerima kesabaran dan kasih sayang kalian,
bersama Lantip, menjalani tahun-tahun pendewasaan kami. Lantip, anak pungut
kalian yang nyaris sempurna kebaikan hatinya, melewatkan tahun-tahun nyaris
mulus tanpa suatu gejolak yang berarti hingga sempat ber-keluarga dengan
Halimah, bunga Pariaman bagi keluarga kita yang ikut menyiram kegembiraan dan
kebahagiaan di hari-hari tuamu.
Sedangkan aku, hanya mendatar
tanpa tanjakan-tanjakan yang berarti, meskipun bukannya tanpa bersyukur dapat
mencapai kedudukanku dalam perusahaan penerbit ini, berkat koneksi mitra usaha
Tommi yang memiliki seorang paman, Maryanto, purnawirawan brigjen yang berusaha
dalam dunia penerbitan. Oh, saya tidak mengeluh tentang perjalanan hidup yang
saya jalani. Bahkan, boleh dibilang saya cukup mensyukuri nasibku. Hidup adalah
satu mangkuk penuh dengan macam-macam buah cherry.
Ada yang manis, ada yang kecut, ada yang hampir busuk. Maka kita akan selalu
untung-untungan dalam mencopot buah cherry
itu. Begitu kata orang di Amerika sana life
is but a bowl of cherries…Pokoknya, aku boleh dibilang okelah…
“Begini, Hari. Kamu masih ingat
Suli, kan?”
“Suli yang mana, Bu?”
“Kok Suli yang mana! Suli kita ya
Cuma satu. Itu, lho. Sulistianingsih, putri tunggal Tante Nunung, sepupu Ibu.”
“Yang mana sih, Bu?”
“Kamu itu memang payah kok, Hari.
Tidak pernah kenal keluarga kita. Keluarga itu kan penting. Kalau ada apa-apa
kan keluarga kita juga, to yang mintai tolong. Kami, kamu, kan pernah mengalami
itu semua. Maka itu selalu diusahakan, to, ingat keluarga.”
“Ya sudah, Terus bagaimana dengan
Mbak atau Dik atau, bahkan, Tante Suli itu?”
“Nah, kamu kan mau main potong
saja, kan?”
“Hari, mbok kamu yang sabar
mendengarkan cerita ibumu.”
“Ya, Pak”
“Begini lho, anakku lanang yang
bagus. Kamu itu sebentar lagi akan empat puluh tahun, to?”
“Lha iya, Bu. Terus bagaimana?”
Ini lho, Suli yang sesungguhnya
abu-nya lebih tua dari kamu, tapi umurnya kira-kira lima tahun lebih muda dari
kamu. Anaknya cantik, sedep, dan cerdas, terpelajar, wong tamat IKIP.”
“Lantas?”
“Kok lantas? Ya, bapakmu dan
ibumu ini sudah sepakat kalau kamu ya dijodohkan dengan Suli.”
“Kok Bapak dan Ibu enak saja mau
menjodohkan Suli sama sayya. Apa anaknya sudah ditanya?”
“Heh, heh, heh. Yang penting itu
kamu bersedia kawin apa tidak? Ini lho fotonya!”
Harimurti mengamati foto yang
diberikan ibunya. Dilihatnya ada gambar seorang perempuan muda yang bermata
besar dan cerdas sedang tersenyum lebar. “Boleh juga,” gumam Harimurti.
“Benerannya hitam atau kuning
langsat, Bu?” Hardoyo, bapak Harimurti,
tertawa.
“Heh, heh, heh. Ternyata kamu
rasis juga. Menganggap warna kulit penting juga”
“Lho, saya dengar Suli punya
sedikit darah Cina di tubuhnya. Embah putrinya atau apanya itu dikabarkan
pernah jadi simpanan babah kaya?
Hardoyo dan istrinya dengan wajah
sangat terkejut saling memandang muka masing-masing. Harimurti dengan tenang
melontarkan kata-katanya itu. Hardoyo memandang putranya dengan wajah sedikit
tegang.
“Dari mana kau dengar cerita itu.
Rupanya kamu sudah lama dengar kabar bohong, bahkan fitnah tentang keluarga
sepupu ibumu, ya? Jangan sekali-kali kamu percaya kabar bohong itu.”
“Kenapa kau buka pengetahuanmu
tentang Suli pada hari ini, pada waktu bapak dan ibumu mau menjodohkan kamu
dengan Suli, he?
Sekarang Harimurti menyesali
dirinya karena sudah terlalu enteng berbicara dengan calon jodohnya itu. Dengan
cepat dirangkul dan dicium ibunya dan mohon maaf atas kata-katanya yang telah
merisaukan bapak dan ibunya itu.
…
Setelah kalian menyimak pembacaan kutipan novel di atas,
jawablah pertanyaan di bawah ini:
- Sebutkan siapa saja
pelaku cerita di atas?
- Menurut gaya bahasa
ceritanya, termasuk orang manakah tokoh-tokoh dalam cerita tersebut?
- Tentukan ungkapan dalam
cerita tersebut yang tergolong makna konotatif
- Menurut pendapatmu apa
tema cerita tersebut di atas?
- Tentukan seting
penceritaannya dalam kutipan di atas?
Perbedaan antara Novel dengan Cerpen
Novel dan cerpen termasuk jenis karya sastra berbentuk
prosa. Namun, antara novel dengan cerpen memiliki karakteristik yang berbeda.
Cerpen memuat kisah/peristiwa sesaat. Alur cerpen tidak terlihat dengan
jelas. Pengaluran (ending) cerita pada
cerpen tidak diketahui arah nasib tokohnya. Sedangkah novel sudah mengarahkan
(ending) nasib tokohnya (sed ending/happy
ending).
Simaklah dengan seksama cerpen berikut ini!
Perhatikan Cuplikan Cerpen Berikut!
PERADILAN RAKYAT
(Karya Putu Wijaya)
Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang
pengacara senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.
“Tapi aku datang tidak sebagai putramu,” kata pengacara muda itu. “Aku
datang kemari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakan keadilan di
negeri yang sedang kacau balau ini.”
Pengacara tua, yang berjambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut.
Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang
dan agung.
“Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?”
Pengacara muda tertegun. “Ayahanda bertanya kepadaku?”
“Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung
tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini.”
Pengacara muda itu tersenyum.
“Baik, kalau begitu. Anda mengerti maksudku.”
“Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani,
kalau perlu kurang ajar. Aku pisahkan
antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan perjuangan penegakan
keadilan. Tidak seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang.
Bahkan tidak seperti para elit dan cendikiawan yang cermelang ketika masih di
luar kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan
untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya. Kamu
pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda. Kamu sudah membaca
riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah kampus di luar negeri,
buka? Mereka menyebutku Singa Lapar. Aku
memang tak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang keadilan yang
bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah
yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kami bisa banyak
belajar dari buku itu.”
Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang
pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun sisa-sisa
keperkasaannya masih terasa.
“Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh
sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari
kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah
Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan terlalu tak pantas
untuk memujimu. Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena
kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan
sempurna, tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri.”
Pengacara tua itu meringis.
“Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara sungguh-sungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan.”
“Itu semua tidak terlepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal
ampun!”
Pengacara tua itu tertawa.
“Kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu!” Potong pengacara tua.
Pengacara muda terkejut. Ia tersandar pada kekeliruannya lalu minta maaf.
“Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan,”
sambung pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati pula
juga pujian itu, “jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan
diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku,
mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu
sangat diperlukan oleh bangsamu ini.”
Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia
meneruskan ucapannya dengan lebih tenang.
“Aku datang kemari ingin mendengar suaramu. Aku mau berdialog.”
“Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya.”
“Terima kasih. Begini. Belum lama ini Negara menugaskan aku untuk
membela seorang penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati. Pihak
keluarga pun datang dengan gembira ke rumahku untuk mengungkapkan
kebahagiaanya, bahwa pada akhirnya Negara cukup adil, karena memberikan seorang
pembela kelas satu untuk mereka. Tetapi aku tolak mentah-mentah. Kenapa? Kerena
aku yakin, Negara tidak benar-benar menugaskan aku untuk membelanya. Negara
hanya ingin mempertunjukkan sebuah teater spektakuler, bahwa di negeri yang
sangat tercela hukumnya ini, sudah ada kebangkitan baru. Penjahat yang paling
kejam, sudah diberikan seorang pembela yang perkasa seperti Mike Tyson, itu
bukan istilahku, aku pinjam dari apa yang diobral para pengamat keadilan di
Koran untuk semua sepak-terjangku, sebab aku selalu berhasil memenangkan semua
perkara yang aku tangani.
Aku ingin berkata tidak kepada Negara, karena pencarian keadilan tak
boleh menjadi sebuah teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau
perlu dingin dan beku. Tapi Negara terus juga mendesak dengan berbagai cara
supaya tugas ini kami terima. Di situ aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu
tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang mendalam dan kutemukan
faktanya. Walhasil, kesimpulanku, Negara sudah memainkan sandiwara. Negara
ingin menunjukan kepada rakyat dan dunia, bahwa kejahatan dibela oleh siapa pun, tetap kejahatan. Bila
Negara tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke titik terakhirnya hukuman
tembak mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela seperti aku, maka Negara
akan mendapatkan kemenangan ganda, karena kemenangan itu pastilah kemenangan
yang telak dan bersih, karena aku yang menjadi jaminannya. Negara hendak
menjadikan aku sebagai pecundang. Dan itulah yang aku tentang.
Negara harusnya percaya bahwa
menegakkan keadilan tidak bisa lain harus dengan keadilan yang bersih,
sebagaimana yang sudah Anda lakukan selama ini.”
Pengacara muda itu berhenti sebentar
untuk memberikan waktu pengacara senior itu menyimak. Kemudian ia melanjutkan.
“Tapi aku datang kemari bukan untuk
minta pertimbanganmu, apakah keputusanku untuk menolak itu tepat atau tidak.
Aku datang kemari karena setelah negara menerima baik penolakanku, bajingan itu
sendiri datang ke tempat kediamanku dan meminta dengan hormat supaya aku
bersedia membelanya.”
“Lalu kau terima?” potong pengacara
tua itu tiba-tiba. Pengacara muda itu terkejut. Ia menatap pengacara tua itu
dengan heran.
“Bagaimana Anda tahu?”
Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke tempat yang jauh. Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak ribuan kilometer. Sambil menghela napas kemudian ia berkata: “Sebab aku kenal siapa kamu.”
Pengacara muda sekarang menarik napas panjang.
“Ya aku menerimanya, sebab aku seorang professional. Sebagai seorang pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang membutuhkan keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya.”
Pengacara tua mengangguk-anggukkan
kepala tanda mengerti.
“Jadi itu yang ingin kamu tanyakan?”
“Antara lain.”
“Kalau begitu kau sudah mendapatkan
jawabanku.”
Pangacara muda tertegun. Ia menatap,
mencoba mengetahui apa yang ada di dalam lubuk hati orang tua itu.
“Jadi langkahku sudah benar?”
Orang tua itu kembali mengelus
jantungnya.
“Jangan dulu mempersoalkan
kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai profesional. Kau tolak
tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya ada usaha pengejaran
pada kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana yang kau kejar dalam profesimu
sebagai ahli hukum, tetapi di situ sudah
ada tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran yang sama dari seorang penjahat, malah kau terima baik, tak peduli orang itu
orang yang pantas ditembak mati, karena sebagai profesional kau tak bisa
menolak mereka yang minta tolong agar kamu membelanya dari praktik-praktik
pengadilan yang kotor untuk menemukan keadilan yang paling tepat. Asal semua itu
dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan uang! Kau tidak membelanya karena
ketakutan, bukan?”
“Tidak! Sama sekali tidak!”
“Bukan juga karena uang?!”
“Bukan!”
“Lalu karena apa?”
Pengacara muda itu tersenyum.
“Karena aku akan membelanya.”
“Supaya dia menang?”
“Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk
mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling
benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai. Kalah-menang bukan
masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling penting. Demi memuliakan
proses itulah, aku menerimanya sebagai klienku.”
Pengacara tua termenung.
“Apa jawabanku salah?”
Orang tua itu menggeleng.
“Seperti yang kamu katakan tadi,
salah atau benar juga tidak menjadi persoalan. Hanya ada kemungkinan kalau kamu
membelanya, kamu akan berhasil keluar sebagai pemenang.”
“Jangan meremehkan jaksa-jaksa yang
diangkat oleh negara. Aku dengar sebuah tim yang sangat tangguh akan
diturunkan.”
“Tapi kamu akan menang.”
“Perkaranya saja belum mulai,
bagaimana bisa tahu aku akan menang.”
“Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai
pengacara. Keputusan sudah bisa dibaca walaupun
sidang belum mulai. Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena
soal-soal sampingan. Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini.”
Pengacara muda itu tertawa kecil.
“Itu pujian atau peringatan?”
“Pujian.”
“Asal Anda jujur saja.”
“Aku jujur.”
“Betul?”
“Betul!”
Pengacara muda itu tersenyum dan manggut-manggut. Yang tua memicingkan
matanya dan mulai menembak lagi.
“Tapi kamu menerima membela penjahat itu, bukan karena takut, bukan?”
“Bukan! Kenapa mesti takut?!”
“Mereka tidak mengancam kamu?”
“Mengancam bagaimana?”
“Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah
ancaman. Dia tidak memberikan angka-angka?”
“Tidak.”
Pengacara tua itu terkejut.
“Sama sekali tak dibicarakan berapa mereka akan membayarmu?”
“Tidak.”
“Wah! Itu tidak professional!”
Pengacara muda itu tertawa.
“Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan orang!”
“Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?”
Pengacara muda itu terdiam.
“Bagaimana kalau dia sampai menang?”
“Negara akan mendapat pelajaran penting. Jangan main-main dengan
kejahatan!”
“Jadi kamu akan memenangkan perkara itu?”
Pengacara muda itu tak menjawab.
“Berarti, ya!”
“Ya. Aku akan memenangkannya dan aku akan menang!”
orang tua itu terkejut. Ia merebahkan tubuhnya bersandar. Kedua tangannya
mengurut dada. Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia mengangkat tangannya.
“Tak usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena
takut, bukan karena kamu disogok.”
“Betul. Ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak
takut.”
“Dan kamu menerima tanpa harapan akan mendapatkan balas jasa atau
perlindungan balik kelak kalau kamu perlukan, juga bukan karena kamu ingin
memburu publikasi dan bintang-bintang penghargaan dari organisasi kemanusiaan
di mancanegara yang benci negaramu, bukan?”
“Betul.”
“Kalau begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang. Keputusanmu
sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai tuduhan,
seakan-akan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari pengejaran keadilan dan
kebenaran. Tetapi semua rong-rongan itu hanya akan menambah pujian
untukmu kelak, kalau kamu mampu terus
mendengarkan suara hati nuranimu sebagai penegak hukum yang profesional.”
Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua tidak
memberikan kesempatan.
“Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu
pulang sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat
rindu kepada dia.”
Pengacara muda itu jadi sangat terharu. Ia berdiri hendak memeluk
ayahnya. Tetapi orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan suara
yang serak. Nampaknya sudah lelah dan kesakitan.
“Pulanglah sekarang. Laksanakan
tugasmu sebagai seorang profesional.”
“Tapi ...”
Pengacara tua itu menutup matanya, lalu menyandarkan
punggungnya ke kursi. Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya.
Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara muda.
“Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini,
Pak. Beliau perlu banyak beristirahat. Selamat malam”
Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang
memiliki mata yang sangat indah itu, pengacara muda itu tak mampu lagi menolak.
Ia memandang sekali lagi orang tua itu dengan segala hormat dan cintanya. Lalu
ia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu, agar suaranya jangan sampai
membangunkan orang tua itu dan berbisik.
“Katakan
kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan oleh negara terlalu
sedikit dan lemah. Peradilan ini terlalu
tergesa-gesa. Aku akan memenangkan
perkara ini dan itu berarti akan membebaskan bajingan yang ditakuti dan dikutuk
oleh seluruh rakyat di negeri ini untuk
terbang lepas. Dan semoga itu akan membuat negeri kita ini menjadi lebih dewasa
secepatnya. Kalau tidak, kita akan
menjadi bangsa yang lalai.”
Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan. Dengan gemilang dan mudah ia mempecundangi Negara di pengadilan dan memerdekakan kembali raja penjahat itu. Bangsa itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemengannya dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat pun marah.
Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu
dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan
dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa, dan
akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup.
Rakyat terus mengaum dan jendak menggulingkan pemerintahan yang sah.
Pengacara tua itu
terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya membacakan
berita-berita keganasan yang merebak di seluruh wilayah Negara dengan suaranya
yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu.
“Setelah kau datang
sebagai pengacara muda yang gemilang dan meminta aku berbicara sebagai sebagai
professional, anakku,” rintihnya dengan amat sedih, “Aku terus membuka pintu
dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang putra. Bukankah sudah
aku ingatkan, aku rindu putraku. Lupakah kamu bahwa putra dari ayahmu. Tak
inginkah kau mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan
dengan sebuah perkara, di mana seorang penjahat besar yang terbebaskan akan
menyulut peradilan rakyat seperti bencana yang melanda negeri kita sekarang
ini?”
Pertanyaan :
1.
Jelaskan tema
kisah di atas
2.
Sebutkan latar
yang digunakan dalam penceritaan di atas
3.
Jelaskan pesan
yang hendak disampaikan pengarang kepada pembacanya
4.
Sebutkan tokoh
utama dan tokoh pembantu, serta jelaskan penokohan masing-masing
5.
Bagaimana sudut
pandang yang digunakan oleh pengarang, menurut pendapatmu!
6.
Jelaskan
pengaluran cerita tersebut!
JENIS-JENIS PROSA
Prosa dapat dibedakan sebagai
prosa fiksi (Rekaan), dan prosa nonfiksi (Fakta, Ilmiah). Prosa Fiksi,
suatu karya atau karangan hasil dari imajinasi pengarangnya. Yang tergolong
prosa fiksi antara lain : (cerpen, novel, dongeng, roman dan sebagainya). Prosa nonfiksi suatu karangan yang berisi
fakta atau pendapat yang logis sebagai hasil kajian/pengamatan terhadap suatu
objek.
Jenis prosa fiksi tergolong
karangan narasi fiksi (narasi sugestif),
sedangkan prosa nonfiksi, termasuk jenis k karangan narasi faktual (espositoris).
Yang
tergolong prosa nonfiksi, antara lain:
·
Esai; ulasan/kupasan
suatu masalah secara sepintas-lalu saja berdasarkan pandangan pribadi
penulisnya. Isinya bisa berupa hikmah hidup, tanggapan, renungan, atau komentar
tentang budaya, seni, fenomena social, politik, pementasan drama, film dan
sebagainya, menurut selera pribadi penulisnya, sehingga bersifat
subjektif/pribadi.
· Resensi; pembicaraan/pertimbangan/ulasan/penilaian suatu
karya yang berbentuk (buku, film, drama, novel, cerpen dan sebagainya). Isinya
bersifat pemaparan agar pembaca dapat mengetahui karya tersebut (yang dinilai)
dari beberapa aspek, seperti: tema, alur, perwatakan, dialog, seting, atau
bahkan kepengarangannya. Sering juga disertai penilaian baik buruknya
buku/karya itu sehingga perlu-tidaknya karya itu untuk dibaca.
· Kritik; karya yang menguraikan pertimbangan baik-buruknya
suatu hasil karya dengan member alasan-alasan tentang isi dan bentuk karya
tersebut dengan criteria tertentu, bersifat objektif dan menghakimi.
· Biografi; karya yang berisi riwayat hidup/kehidupan orang
lain/seseorang
· Otobiografi; karya yang berisi riwayat hidup/kehidupan diri
sendiri pengarang/penulisnya.
Prosa
dapat digolongka menjadi Prosa Lama dan
Prosa Baru
Ciri-ciri prosa lama :
1) Isi ceirtanya cenderung khayalan belaka
2) Prosa lama bersifat anonim (tanpa/tidak jelas siapa pengarangnya), cerita ini
tenar/dikenal masyarakat dari mulut-ke mulut
3) Ceritanya menjadi milik bersama, ceritanya
dianut/diyakini oleh sekelompok masyarakat
4) Istana sentries, biasanya ceritanya fokus para raja
atau kerajaan
5) Beredar dari mulut-kemulut (tidak tertulis)
Ciri-ciri Prosa Baru :
1) Masyarakat sentries; ceritanya mengisahkan kehidupan
yang terjadi dalam masyarakat pada umumnya
2) Pengarangnya jelas (hak ceritanya dimiliki oleh
penulis)
3) Ceritanya, pada umumnya mencerminkan pribadi
pengarangnya
4) Bentuknya konkrit (tertulis)
5) Bersifat dinamis, sesuai dengan perkembangan kehidupan
masyarakat
Seperti telah dijelaskan di
atas, pada dasarnya suatu penciptaan karya sastra bentuk prosa dibangun oleh
dua unsur utama, yakni unsur instrinsik (internal), dan unsur ekstrinsik
(eksternal).
Unsur
Instrinsik adalah, unsur sastra yang mempengaruhi terciptanya karya sastra atau
membangun karya sastra itu dari dalam. Unsur instrinsik tersebut antara lain;
tema, tokoh, penokohan, alur (plot), latar (seting), amanat, sudut pandang (point of view) dan sebagainya. Sedangkan unsure Ekstrinsik adalah unsur-unsur
yang membangun suatu karya sastra itu dari luar. Yang termasuk unsur ekstrinsik,
antara lain, latar belakang kehidupan pengarang, pandangan hidup pengarang,
situasi sosial, politik, budaya, agama, pendidikan yang melatari lahirnya karya
sastra tersebut.
1)
Unsur Instrinsik Prosa (cerpen, novel, dan roman)
a. Tema (Tema adalah pokok persoalan yang diangkat sebagai
bingkai cerita.) Dalam karya-karya yang tebal seperti novel dan roman, di
samping terdapat tema sentral, juga terdapat sub-subtema atau sub-subpersoalan
yang terjalin sedemikian rupa sehingga membentuk tema yang lebih besar lagi.
b. Amanat
/pesan/nasinat (Pesan/amat terdapat
pada setiap penceritaan/peristiwa. Amanat adalah pesan yang hendak disampaikan
penulis/pengarang kepada pembaca) Amanat biasanya nasihat yang bernilai
didik/baik yang perlu diteladani. Amanat dalam suatu karya dapat diungkapkan
dengan cara eksplisit, dan dapat pula dengan cara implisit.
c. Latar (setting).
Adalah gambaran tempat, waktu, dan suasana, serta keadaan social, budaya,
ekonomi, politik dan sebagainya terjadinya peristiwa-peristiwa dalam
cerita. Di mana, kapan, dalam keadaan
bagaimana, yang digunakan sebagai pijakan bagi berlangsungnya suatu
kisah/peristiwa.
d. Tokoh dan
penokohan/perwatakan,
Dalam
cerita selalu ada tokoh/pelaku yang dikisahkan, apakah si pengarang sendiri,
atau orang lain, bahkan ada juga tokoh berasal dari binatang, benda, boneka dan
sebagainya. Pelaku-pelaku atau tokoh dalam cerita pada umumnya ditampilkan
dengan ciri karakter/watak khas untuk mendukung jalannya alur penceritaan
hingga membentuk suatu konflik yang alamiah (tidak dibuat-buat)
Strategi
pengarang untuk menampilkan watak tokoh secara garis besar ada dua cara, yaitu
:
· Secara
analitis; pengarang secara langsung mendiskripsikan atau menceritakan watak
pelaku/tokohnya
· Secara dramatis; penulis menggambarkan watak pelaku secara tidak langsung melalui dialog, atau reaksi pelaku lain terhadapnya.
Tokoh
dalam cerita dibedakan menjadi empat, yaitu : tokoh utama (temperamen baik)
disebut tokoh Protogonis. Kedua; tokoh yang melawan/menentang peran tokoh
utama, disebut tokoh Antagonis. Ketiga, tokoh pelerai (tritagonis), dan keempat
tokoh bawahan.(tokoh figuran)
e. Alur atau
Plot; (yaitu jalinan peristiwa yang
sambung-menyambung hingga membentuk kisah atau jalan cerita).
Setiap
cerita memiliki pola plot, sebagai berikut :
· Perkenalan keadaan
· Pertikaian/konflik mulai terjadi
· Konflik berkembang semakin rumit (perumitan)
· Klimaks
· Peleraian/solusi/penyelesaian
Ditinjau
dari hubungan antar peristiwa dalam alur penceritaannya, maka plot dibedakan
menjadi dua, yaitu:
· Alur erat/rapat; yaitu apabila hubungan antar peristiwa dalam cerita memiliki hubungan yang padu dan padat sehingga tak ada satu peristiwa pun yang dapat dihilangkan.
· Alur longgar/renggang; yaitu : apabila hubungan antarperistiwa dalam cerita terjalin kurang erat sehingga ada bagian-bagian peristiwa yang dapat dihilangkan dan penghilangannya itu tidak akan mengganggu jalannya cerita.
Pembentukan
alur dalam cerita dapat dilakukan dengan cara analitis, (pengisahan langsung)
dan dapat juga secara dramatis melalui dialog dan adegan peristiwa, hingga
terbentuklah suatu alur penceritaan.
Alur juga dibentuk dengan urutan peristiwa secara alamiah sehingga membentuk alur maju, dan dapat juga dengan sorot balik (flash back), atau bahkan dengan campuran yaitu alur maju dan sorot balik
Dalam cerita yang panjang (misalnya Novel) di samping terdapat alur utama, sering terdapat alur-alur cabang, yang disebut digresi.
f. Sudut Pandang (point of view), disebut juga pusat pengisahan. Sudut pandang adalah posisi/peran pencerita/pengarangnya dalam menyampaikan ceritanya. Dengan kata lain, sudut pandang menyangkut cara pengarang memposisikan/menempatkan diri atau posisinya dalam melibatkan diri dalam penceritaan. Apakah pengarang dalam karya ceritanya itu melibatkan diri secara langsung atau hanya sebagai pengamat yang berdiri di luar penceritaan itu
Sudut
pandang dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu :
· Sudut pandang
orang pertama
Biasanya
dalam penceritaannya tokoh jalan ceritanya dikuasi oleh si pengarangnya dengan
sebutan “saya”, “aku” atau nama pengarang langsung mmenjadi tokoh sentral dalam
penceritaannya.
· Sudut pancang
orang ketiga
Biasa
seorang pengarang memilih salah satu nama untuk menjalankan alur
penceritaannya, maka biasanya tokoh dipanggil dengan nama selain nama
tokoh aku, saya, dan sebagainya, tetapi
lebih memilih nama “dia” atau nama lain yang menjadi panggilan bagi pengarang.
· Sudut pandang orang ketiga serba tahu
Sudut
pandang ini, pengarang mengetahui seluruh tingkah-laku, pikiran, isi hati
maupun apa yang dirasakan oleh para tokoh dalam cerita itu.
2)
Unsur Ekstrinsik
Unsur ekstrinsik, prosa berarti unsur yang membangun/pembentuk prosa
tersebut dari luar atau lingkungan luar yang mendukung terjadinya suatu cerita.
Unsur luar tersebut bisa bermacam-macam, misalnya : biografi pengarangnya,
kondisi sosial-budaya, kondisi politik, agama, moral, filsafat yang ada pada
lingkungan pengarang saat menuliskan cerita tersebut. Nilai-nilai yang
terkandung dalam cerita pada umumnya ditentukan melalui unsur-unsur ekstrinsik
tersebut. Bisa jadi suatu novel bertema sama, namun belum tentu nilai-nilai
yang terkandung di dalamnya itu sama. Hal itu tergantung pada unsure ekstrinsik
yang ditonjolkan dalam alur ceritanya. Misalnya, dua novel yang sama-sama
bertemakan ‘cinta’, namun kedua novel
tersebut menonjolkan nilai-nilai yang terkandung secara berbeda, perbedaan
tersebut dikarenakan oleh penulis/pengarang yang mempunyai pemahaman dan
penghayatan yang berbeda tentang ‘cinta’, situasi social, agama, dan latar
belakang pengarang yang berbeda dalam memandang suatu persoalan.
- MENGANALISIS PROSA
Karya
yang berbentuk, cerpen, novel, roman, termasuk
jenis karya sastra prosa. Prosa dikatakan baik, jika memenuhi beberapa
persyaratan antara lain, unsur instriksi dan ekstrinsik, mengandung nilai dan
dikemukakan dengan bahasa yang indah. Nilai-nilai yang terkandung di dalam
karya sastra antara lain nilai moral, agama, social, budaya, dan sebagainya.
Walaupun
merupakan cerita rekaan, prosa tetap memiliki kebenaran (kebenaran imajinatif),
karena karya prosa ditulis berdasarkan logika, pengalaman, dan pengamatan sang
pujangga/pengarang. Oleh karena itu, cerita rekaan tidak jauh dari kenyataan
(realistis).
Bentuk-bentuk
prosa tersebut :
- Cerpen
Cerpen
merupakan singkatan dari cerita pendek. Namun perlu diketahui, bahwa tidak
setiap cerita yang pendek itu termasuk cerpen.
Karakteristik/ciri-ciri
cerpen adalah : ^ ceritanya melukiskan
suatu insiden yang unik, yang tidak terjadi di tempat lain, waktu lain, dan
dengan orang lain, dan tidak dapat diulang. ^ Cerpen berisi hal-hal yang tidak
rutin terjadi setiap hari, misalnya : tentang suatu perkenalan, jatuh cinta,
atau suatu hal yang sulit untuk dilupakan. ^ Bersifat imajinatif.
- Novel
Novel
berasal dari bahasa Italia, ‘novella.’
Novel
juga seperti halnya cerita pada cerpen, namun pada novel biasanya diakhiri
dengan perubahan nasib (ending) pelakunya.
Akhir
cerita nasib pelakunya bahagia disebut ‘heppyending’
Sebaliknya
jika cerita diakhiri nasib pelakunya tidak bahagia/sengsara disebut
‘sedending’.
- Roman
Istilah roman berasal dari bahasa Perancis. Roman mengisahkan kehidupan pelaku dari lahir sampai meninggal. Roman lebih panjang daripada novel.
Setelah Anda mengenal sekilas tentang unsur-unsur instrinsik prosa, marilah berlatih menganalisis, penggalan cerita di bawah ini.
Kini aku, si kaleng bekas, sudah
diselamatkan oleh umat-Nya yang tak pernah putus asa, terpajang di lemari kaca,
menunggu jika ada tangan-tangan lain yang ingin merangkulku. Tempatku yang
sekarang jauh lebih nyaman daripada ketika aku di depan Masjid Raya atau di
rumah kardus sang manusia penyelamatku.
(senyumku dan senyumnya, Arif
Mulizar)
BERIKAN ANALISIS UNSUR INSTRINSIK
PENGGALAN CERITA TERSEBUT, YANG MENEKANKAN ADANYA TAHAPAN ALUR.
2)
Pagi hari, di depan rumah sambil baca Koran,
terasa sepi juga. Tak ada patukan-patukan pada jemari kaki dan ujung kainku.
Tak ada binatang yang mengitari sekitar tempat dudukku sambil jeprat-jepret mengeluarkan bunyinya.
Tiba-tiba aku merasa bunyi jeprat-jepret itu
sama indahnya dengar music arvant-garde karya
para pemusik teman-temanku.
Seekor cecak jatuh dari tembok, diam sesaat
di lantai seakan menatapku, kemudian lari.
“Santi, bagaimana kalau aku piara buaya
saja,” teriaku pada istri di dapur. “Piara saja anak kau baik-baik. Sudah itu
boleh piara gajah atau singa,” katanya.
(Sutardji Calzoum B, Hujan Menulis Ayam)
BERIKAN ANALISIS UNSUR INSTRINSIK
PENGGALAN CERITA TERSEBUT, YANG MENEKANKAN ADANYA PESAN/AMANAT PENULIS
3)
Tini lagi berbaring di
sofa membaca buku. Kedua belah tangannya memegang buku itu ke atas, supaya
terang kena cahaya lampu dari belakangnya. Kepalanya berbantalkan tiga buah
bantal sofa, supaya tinggi, badannya seolah-olah setengah bersandarkan benda
itu. Biasanya dia sudah tidur atau sudah berbaring di tempat tidur, seolah-olah
sudah nyenyak, tetapi dia sebenarnya menunggu-nunggu Kartono pulang.
Sepeninggal Nyonya Rusdio tadi dia mengganti pakaiannya menggunakan kimono,
lalu berbaring di sofa, kedua belah tangannya bersilang di bawah kepalanya,
matanya menengadah memandangi loteng.
(Belenggu, Armyn Pane)
BERIKAN ANALISIS UNSUR INSTRINSIK PENGGALAN CERITA TERSEBUT, YANG MENEKANKAN ADANYA SETTING DALAM BERPIJAKNYA SUATU CERITA
Perempuan bernama Yusin itu duduk selonjor
di bangku kayu di samping gubugnya, menunggu. Di pangkuannya, bocah berkulit
kusam adalah anaknya, pulas tidur. Yusin mengelus rambut dan memandangi wajah
bocah usia delapan tahun ini, terbenak hari-hari puluhan tahun hidupnya di
perkampungan belakang pasar sayur.
Malam dingin dan gelap. Cahaya yang
menyelinap dari sela-sela gubug yang berdiri tak beraturan itu tak sanggup
menembus pekat asap pembakaran sampah yang habis tersiram hujan dan becek. Air
menggenang di mana-mana. Parit kecil yang berkelok di samping gang sempit
menebarkan aroma sayur busuk. Kaleng bekas menumpuk berbaur dengan serpihan
kardus dan sampah plastik.
BERIKAN ANALISIS UNSUR INSTRINSIK PENGGALAN CERITA TERSEBUT, YANG MENEKANKAN ADANYA SETTING/LATAR SUASANA DALAM BERPIJAKNYA SUATU CERITA
Hujan datang lagi. Menghanyutkan jejak-jejak kenangan. Kulihat televise, katanya “ Banjir mengepung Ibu kota.” Kulihat Koran, katanya “Air Bah lumpuhkan Jakarta.” Aku meneguk segelas teh panas. Melakoni lagi hidup ini, sebagai penyaksi antara yang hidup penuh sensasi-ilusi.
BERIKAN ANALISIS UNSUR INSTRINSIK PENGGALAN CERITA TERSEBUT, YANG MENEKANKAN ADANYA UNSUR TEMA
Awalnya,
aku hanya berniat menumpang tinggal barang satu-dua minggu di kantor Randai,
sambil mencari tempat kos sendiri. Namun, sudah sebulan aku tidak kunjung
mendapatkan tempat kos. Bukan tidak karena tidak ada lagi kamar kos yang
tersisa di Bandung, tetapi karena dana yang aku anggarkan terlalu kecil. Jadi,
sampai kini aku masih sekamar dengan Randai. Padahal di kamar ini hanya ada
satu kasur yang tidak muat untuk berdua. Karena berhemat, maka membeli kasur
dan bantal bukan prioritasku. Jadi, aku hanya menumpangkan kepala di ujung
kasur sebagai bantal, menggelar sajadah sebagai alas tidur dan berkelumun kain
sarung.
(A. Fuadi, Ranah 3 Warna).
BERIKAN ANALISIS UNSUR INSTRINSIK PENGGALAN CERITA TERSEBUT, YANG MENEKANKAN ADANYA UNSUR PENOKOHAN
Sebagai ulasan kembali, kini
disajikan perbedaan antara cerpen dan novel, seperti di sebutkan di atas tadi
Ciri-ciri
karya cerpen :
1. Jumlah kata tidak lebih dari
10.000 kata ( 2 – 20 halaman)
2. Bentuk cerita lebih pendek
daripada novel
3. Isi cerita tentang kehidupan
sehari-hari
4. Tidak menggambarkan semua
kisah pelakunya
5. Tokoh-tokoh yang dilukiskan
mengalami masalah/konflik hingga pada penyelesaian
6. Menggunakan kata-kata
sederhana, ekonomis, singkat, sehingga mudah dipahami
7. Hanya terdiri dari satu
kejadian/peristiwa sehingga cenderung alur tunggal
8. Penokohan yang digunakan
sangat sederhana
Ciri-ciri
Novel :
1. Jumlah kata lebih dari
35.000 kata
2. Memerlukan waktu membaca
lebih dari 2 jam
3. Sekurang-kurangnya 100
halaman
4. Novel bergantung pada
pelaku, dan mungkin lebih dari satu pelaku
5. Novel menyajikan lebih dari
satu impresi, efek, dan emosi.
6. Novel berskala luas, tidak
seperti cerpen yang ruang lingkupnya lebih sempit
7. Unsure kepadatan dan
intensitas dalam novel kurang diutamakan
Unsur
Instrinsi Cerpen dan Novel
1. Tema
2. Amanat
3. Latar/setting
4. Alur/plot
5. Sudut pandang
Unsur
Ekstrinsik karya sastra puisi/cerpen/novel
Yaitu
nilai-nilai dalam isi puisi/cerita yang menyangkut latar belakang/jalan pikiran
pengarangnya, dan situasi social ketika cerita/puisi itu diciptakan.
Nilai-nilai
yang pada umumnya terdapat dalam isi karya sastra tersebut antara lain :
1. Nilai agama : nilai-nilai yang terkandung di dalam
karya yang berkaitan dengan nilai keagamaan
2. Nilai sosial : nilai yang dapat disunting dari
lingkungan, dan masyarakat sekitar.
3. Nilai moral : nilai yang dapat dipetik dari sifat/akhlak/etika
yang berlaku dalam masyarakat
4. Nilai budaya : nilai yang berkaitan dengan kebiasaan,
tradisi, adat-istiadat yang berlaku.
Struktur
Teks Cerita :
1. Abstrak : ringkasan atau
inti cerita yang akan dikembangkan menjadi rangkaian peristiwa/gambaran awal
cerita.
2. Orientasi : bagian teks
cerita yang berisi pengenalan tokoh dan latar dalam cerita. Pengenalan tokoh
berkaitan dengan peran pelaku utama cerita, sedangkan pengenalan latar
berkaitan dengan waktu, tempat, sauna, ruang terjadinya peristiwa.
3. Komplikasi : bagian alur
dalam kejadian/peristiwa pada cerita . Tahapan komplikasi dimulai adanya
munculnya konplik, lalu meningkatnya suatu konplik hingga konplik mencapai puncaknya (klimaks).
4. Evaluasi : bagian cerita
yang ditandai adanya konflik yang diarahkan pada tahap pemecahannya.
5. Resolusi : pada bagian ini
konflik sudah mulai terpecahkan atau menemukan jalan penyelesaiannya. (tahap memberikan solusi-solusi)
6. Koda : bagian akhir cerita,
pengarang sudah mulai membrikan pesan moral sebagai tanggapan terhadap konflik
yang terjadi. Koda merupakan nilai-nilai atau pelajaran yang dapat dipetik oleh
pembaca teks tersebut.
BIOGRAFI
Struktur
Teks Biografi
1. Orientasi : bagian biografi
yang menjelaskan pengenalan tokoh. Berisi gambar awal tentang tokoh yang diceritakan.
2. Peristiwa dan Masalah :
menyangkut suatu peristiwa/masalah yang pernah dialami dan peristiwan yang
pernah dihadapi dalam emncapai suatu tujuan serta cita-cita tokoh. Hal-hal yang
menarik, mengagumkan, mengesankan dan mengaharukan yang pernah dialami oleh
tokoh.
3. Reorientasi : bagian penutup. Mengenai pandangan penulis terhadap tokohnya.
Biografi merupakan karangan
tentang perjalanan hidup orang lain/tokoh tentang ketenarannya, mulai dari
lahir hingga meraih prestasi dan karya-karyanya sampai dengan akhir hidupnya
Jika yang ditulis dalam karyanya itu tentang
perjalanan dan pengalaman hidup pengarangnya sendiri, maka disebut otobiografi.
Jadi Biografi menyangkut
perjarlanan hidup orang lain, sedangkan Autobiografi, karangan yang menerangkan
tentang perjalanan hidup diri sendiri penulisnya itu
Pada umumnya, sebagai cirri karangan
Autobiografi, menggunakan nama dirinya sendiri atau kata ganti –ku, -aku, saya, -kami, dan sejenisnya.
Memahami Teks Seni Berbahasa
Untuk
memahami suatu karya dengan baik, kadang-kadang dibutuhkan pengenalan terhadap
faktor-faktor ekstrinsik, seperti latar belakang kehiduppan
penciptanya/pengarangnya, (misalnya, pendidikannya, pengalamannya, agamanya,
haluan politiknya, ideologinya, pandangan hidupnya dan lain-lain). Di samping itu juga dipengaruhi oleh keadaan
social-ekonomi-budaya-politik, dan pada zaman/masa penciptaannya. Sebaliknya,
tidak tertutup kemungkinan bahwa dengan memahami suatu karya kita akan mengenal
agama penulis, pandangan-pandangan atau sikap hidup penulis terhadap suatu
persoalan, keadaan social-budaya atau tradisi masyarakat yang sesungguhnya pada
masa penciptaan/diciptakan dan sebagainya.
Kenyataan
menunjukkan bahwa suatu karya tidak dapas lepas sama sekali dari factor-faktor
ekstrinsik tersebut. Karya yang
mengambil latar (setting) zaman kerajaan tentu harus mendiskripsikan dengan
tepat social-budaya-teknologi pada zamannya tersebut. Misalnya : kendaraan yang
digunakan tentu saja kuda atau kereta, dan bukan bus, atau pesawat, demikian
pula senjata yang digunakan juga menggambarkan zaman itu, misalnya : keris,
golok, atau panah, dan bukan senapan mesin, bom TNT, nuklir dan sebagainya.
Musiknya pun juga harus menggambarkan zaman itu, misalnya gamelan, bukan jaz,
rok, atau dangdut. Dengan demikian tidak akan terjadi adanya ANAKRONISME (pertentangan/ketidaksesuaian) antara
keadaan zaman dengan latar ceritanya.
Faktor
ekstrinsik yang kadang-kadang juga berpengaruh terhadap suatu karya ialah karya
lain. Tidak jarang suatu karya memiliki hubungan, atau tautan dengan karya
lain, bahkan beberapa kemiripan/kesamaan dengan karya lain. Hal ini disebut
dengan istilah INTERTEKSTUALITAS. Hal semacam ini bisa terjadi antara karya
seorang pengarang dengan karya orang lain, dan dapat juga antara karya satu
dengan karya lain dari seorang pengarang. Misalnya : Puisi “Senja di Pelabuhan Kecil” dan “Hampa” karya Chairil anwar menunjukkan
adanya tautan peristiwa, yakni kegagalan
penyair untuk menggapai cintanya ‘Sri Ayati’.
Untuk mengetahui lebih jelas
dalam mengapresiasi suatu karya, maka berikut ini dapat digunakan untuk
memberikan penilaian suatu karya, utamanya yang berbentuk fiksi.
Contoh kerangka membuat
Resensi
I.
Pendahuluan :
- Judul :
(judul cerpen/novel)
- Pengarang :
(nama pengarang/penulis)
- Penerbit :
(nama penerbit buku cerpen/novel)
- Tahun terbit :
…..
- Tebal buku : (jumlah
halaman buku cerpen/novel)
- Pelaku :
(nama-nama tokoh/pemeran dalam cerita)
- Sinopsis :
(ringkasan cerita/alur penceritaannya)
II.
Isi :
- Tema, apa yang diangkat dalam prosa tersebut; apakah tema rumah
tangga, cinta, perjuangan, harta warisan, atau tema apa saja yang terdapat
dalam cerita pada cerpen/novel yang diresensikan tersebut. Adakah
kaitannya dengan sejarah, atau peristiwa nyata, khayal atau realistis.
- Nasihat/pesan apay yang sebenarnya hendak disampaikan kepada pembaca melalui tema tersebut, falsafah/nilai-nilai apa yang bisa dipetik, apakah nilai relegius, nilai budaya, nilai moral, nilai patriotism, dan sebagainya.
- Bagaimana jalan ceritanya, menggunakan alur maju atau flash back; bagaiman alur cabang/degresinya,
mengganggu alur utama atau tidak; masuk akalkah uruut-urutan kejadiannya,
atau ada yang tidak masuk akal; adakah kejadian yang terlalu mengada-ada,
adakah peristiwa-peristiwa mengejutkan, apakah selalu menimbulkan
keingintahuan untuk kelanjutan ceritanya, konfliknya seru/tidak,
penyelesaiannya masuk akal/tidak, berakhir ceritanya (sending) heppy atau sad ending.
- Berhasil/tidak pengarang menampilkan berbagai macam watak pelaku
seperti bijaksana, sabar, licik, jahat, pemarah, pemurung, dan sebagainya.
Bagaimana cara-cara/teknik, menunjukkan watak tokoh, apakah dengan dialog,
deskripsi langsung, monolog, tanggapan antartokoh dan lain-lain. Watak para pelaku konsisten atau tidak,
adakah perubahan watak yang tidak beralasan.
- Di mana pengarang menempatkan dirinya, apakah pengarang masuk
sebagai pelaku, atau hanya menceritakan orang lain, atau apakah pengarang
masuk kea lam pikiran/perasaan ke dalam para pelaku (serba tahu), atau
sebagai orang yang berada di luar cerita saja.
- Setting/latar, daerah/tempat/waktu/ruang/keadaan yang mana menjadi
pengisahan dalam cerita (di mana, kapan, keadaannya bagaimana cerita itu
terjadi) Untuk memberikan penilaian pada unsur ini persoalan
kecocokan/ketidakcocokan antara zaman dengan isi ceritanya (anakkronisme).
Termasuk
situasinya/suasananya
apakah riang, sedih, tegang, santai, kecewa atau berbagai persoalan silih
berganti , mampukah membawa pembacanya tenggelam dalam perasaannya.
- Bagaiman corak pemakaian bahasanya dalam cerita tersebut, baku,
kaku, serius, gaul, puitis, atau corak bahasa daerah tertentu.
Semua
aspek yang berkaitan dengan unsur-unsur tersebut di atas lebih lengkap dan baik
jika diungkapkan secara tepat dan menyeluruh. Penulis resensi jendaknya
memahami semua unsur yang terdapat di dalam cerita tersebut.
III.
Kesimpulan :
Bagaimana
penilai secara umum terhadap suatu karya tersebut, baik atau tidak/keunggulan
atau ada kekurangan, tunjukkan keistimewaannya karya tersebut, atau tunjukkan
kekurangannya, perlunya buku itu dibaca atau tidak.
Dalam
memberikan ppenilaian terhadap suatu karya, tidak harus menyebutkan semua unsur
instrinsiknya, tetapi dapat dilakukan dengan mengulas beberapa unsur saja yang
dipandang paling menarik, untuk disampaikan atau kejelaskan.
Contoh Resensi sederhana!
Novel
Harimau! Harimau! Karya Mochtar Lubis ini telah mendapat Hadiah
Yayasan Buku Utama sebagai penulis sastra terbaik tahun 1975. Novel karya
Mochtar Lubis ini juga diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman, Belanda,
juga dalam bahasa Jepang.
Novel
ini menyajikan kisah petualangan di rimba raya yang dijalankan oleh sekelompok
pengumpul dammar, yang dilakukan oleh tokoh Pak Haji, Wak Katok, Sanip, Buyung,
dan tokoh lainnya. Kelompok orang tersebut dikejar-kejar seekor harimau yang kelaparan. Berhari-hari
mereka berusaha menyelamatkan diri, tetapi seorang demi seorang di antara
mereka terus berjatuhan sebagai korban keganasan harimau liar itu.
Situasi
mencekam ini membawa petualangan lain di dalam diri masing-masing pengumpul
dammar ini. Di bawah tekanan ancaman
harimau ganas yang terus menerus memburu mereka, dalam diri mereka
masing-masing terjadi proses refleksi atas dosa-dosa yang mereka perbuat. Terjadilah gejolak yang menghantui atas
pengakuan diri masing-masing. Di satu pihak menuntuk adanya pengakuan dosa yang
pernah dilakukan oleh sekelompok angggotanya, tetapi di pihak lain berpendapat
bahwa masalah dosa itu adalah urusan pribadi yang tidak perlu semua orang tahu. Dari pergolakkan menghadapi ancaman yang
sangat menakutkan ini terbukalah kesadaran mengenai kekuatan dan kelemahan diri
mereka masing-masing, dan anggota kelompok yang lain. Bahkan ada yang sampai
pada kesadaran bahwa sebelum membunuh harimau hutan, mereka harus bisa membunuh
harimau yang ada dalam diri mereka sendiri.
Kesadaran ini membuat Buyung berani mengambil inisiatif untuk mengambil
langkah rasional. Dan dengan mengikat Wak Katok, sebagai umpan, ternyata ia
berhasil membunuh harimau yang selama berhari-hari memburu mereka.
Dari
awal hingga akhir cerita, novel ini terus membawa pembacanya ke dalam
situasi-situasi yang tegang secara silih berganti. Pembaca terus menerus
disuguhi kejutan-kejutan yang tak terduga. Maka rugilah kalau belum membaca
novel ini.
Pertanyaan:
- Unsur apakah yang pertama-tama dikemukakan dalam resensi tersebut?
- Unsur selanjutnya yang diuraikan mengenai apa saja? Jelaskan!
- Tunjukkan ulasan yang paling ditonjolkan/dominan dalam resensi
tersebut!
E.
APRESIASI PUISI
Apresiasi
prosa maupun puisi, pada dasarnya menilai/memberikan penghargaan terhadap karya
sastra yang berupa prosa atau puisi.
Guna
memberikan penilaian/penghargaan terhadap suatu karya yang berupa prosa/puisi
tersebut perlu menilai dari segi Internal dan Eksternalnya. Maka penilaian suatu
karya sastra kita harus menilai dari kedua segi tersebut, yaitu unsur
instrinsiknya dan unsur ekstrinsiknya. Pada pembelajaran sebelumnya telah
dikenalkan unsur instrinsik dan ekstrinsik karya sastra yang berupa Prosa.
Unsur
Instrinsik Puisi;
Unsur
instrinsik puisi adalah unsur-unsur yang membangun dari dalam puisi. Unsur pembangun puisi secara garis besar
dapat dikelompokkan menjadi bentuk BATIN dan bentuk FISIK puisi. Unsur Batin puisi (hakikat) adalah isi atau
kandungan yang hendak dikemukakan oleh penyair. Yang tergolong unsur batin
puisi tersebut;
1) Tema,
2) Rasa/nada, dan
3) Pesan/amanat
Ketiga unsur instrinsik di
atas merupakan unsur batin puisi, yang tidak dipisah-pisahkan lagi
keberadaannya dalam puisi.
Unsur instrinsik yang lain,
yaitu adanya : 4) Rima/persajakan; 5)
Ritma/irama; 6) Metrum/matra; 7) Diksi;
8) Gaya Bahasa
Suatu puisi terbangun dari
unsur-unsur tersebut di atas;
1) Tema; inti/pokok persoalan yang terkandung di dalam
puisi tersebut. Tema muncul karena adanya suatu persoalan yang hendak
diungkapkan oleh setiap pengarang. Maka
tema dapat berupa : keindahan, ketuhanan,
kemanusiaan, kritik sosial; kegagalan; kebencian; perjuangan; kebahagiaan
hidup; penderitaan hidup; kekecewaan dan sebagainya.
2) Rasa dan nada; bagaimana perasaan penyair terhadap
objek atau persoalan yang dikemukakan kepada masyarakat/pembaca, mungkinkah
merasa iba, geram, benci, sabar,
merendahkan diri, khusuk, pasrah, menentang, ragu, penasaran, kecewa,
sinis, dan sebagainya. Banyak dijumpai puisi yang bertema sama,
namun nilai rasanya berbeda. Puisi “Padamu
Jua” dan “Doa” karya Amir Hamzah,
sama-sama bertema “ketuhanan,” tetapi
terasa jauh berbeda rasa dan nadanya.
Coba anda cermati puisi berikut dan jelaskan perbedaannya.
PADAMU
JUA
…
Di mana
engaku?
Rupa
tiada
Suara
Sayup
Hanya
kata merangkai hati.
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmuu
Bertukar tangkap dengan lepas
Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua …
DOA
Denga
apakah kubandingkan pertemuan kita, kasihku
Dengan
samar spoi, pada masa purnama meningkat naik,
setelah
menghalaukan panas payah terik
…
Hatiku
terang menerima katamu, bagai bintang memasang lilinnya
Kalbuku
terbuka menunggu kasihmu,
bagai sedap malam menyirak kelopak
3) Pesan/amanat; nasihat apa yang hendak disampaikan oleh
pengarang kepada pembacanya/penikmat, atau nilai-nilai apa yang hendak
ditanamkan kepada pembacanya. Pesan pada puisi pada umumnya terikat oleh tema
puisi itu sendiri. Pesan/amanat biasaya merupakan nilai-nilai yang layak
dipetik atau perlu diteladani.
4) Rima/persajakan; persamaan bunyi antarkata/antarbaris.
Persamaan bunyi vocal disebut Asonansi. Persamaan bunyi pada konsonan disebut : Aliterasi. Persamaan bunyi dapat di awal, tengah, atau
akhir kata/baris. Perhatikan contoh
berikut ini :
a. Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
b.
Kasihmu sunyi
Menunggu
seorang diri
c.
Lalu waktu bukan giliranku
Mati hari bukan kawanku
d.
Hatiku terang menerima katamu
bagai bintang memasang lilinnya
Kalbu terbuka menunggu kasihmu bagai sedap malam menyirak kelopak
Ritma/irama;
alunan naik turun, panjang pendek, atau keras lemahnya bunyi yang
berulang-ulang atau berurutan sehingga membentuk keindahan. Ritma tercipta oleh adanya perimbangan jumlah
frasa, kata, atau suku kata pada setiap baring ungkapan dalam puisi tersebut.
Perhatikan contoh berikut;
a. Pagiku hilang/sudah melayang
Hari
mudaku /sudah pergi
Kini
petang/datang membayang
Batang
usiaku/sudah tinggi
Adanya
pula puisi yang iramanya ditandai oleh adanya pengulang kata yang sama dalam
setiap baris untuk mengikat/menyatukan beberapa baris belakangnya, perhatikan
contoh berikut;
b. Tuhanku
Dalam
termangu
Aku
masih menyebut nama-Mu
…
Tuhanku
Aku
hilang bentuk
Rwmuk
Tuhanku
Aku
mengembara di negeri asing… (Doa, Chairil Anwar)
2) Metrum/matra; pengulangan tekanan pada posisi-posisi
tertentu yang bersifat tetap. Dalam lagu metrum ditandai dengan garis birama,
dan tekanan keras pda umumnya jatuh pada awal setiap birama.
3) Diksi; pilihan kata secara cermat dari segi bunyi
maupun makna sehingga menjadi wahana ekspresi yang maksimal dan bernilai
estetis. Karena tiap kata memiliki nuansa makna yang berbeda, kata-kata yang
sudah tepat dalam suatu puisi biasanya sangat sulit diganti dengan kata lain.
4) Majas/gaya baahasa (bahasa figurative); cirri ata
kekhasan kebahasaan yang digunakan oleh setiap penulis yang mencakup penggunaan
struktur kebahasaan, pilihan kata, ungkapan, peribahasa/bidal/pepatah dan
sebagainya yang dibangkitkan oleh penulis sehingga akan menimbulkan efek
tertentu bagi pembacanya.
Gaya bahasa dapat diklasifikasikan;
- Majas perbandingan
- Majas pertentangan
- Majas pertautan
- Majas perulangan
Majas perbandingan,
meliputi :
- Simile (perumpamaan), perbandingan dua hal yang pada dasarnya
berbeda, tetapi sengaja dianggap sama. Gaya perbandingan secara eksplisit
dijelaskan dengan pemakaian kata pembanding : laksana, ibarat, bagai, sebagai, dan umpama. (contoh : Gadis
itu laksana bunga yang sedang mekar, Apa yang ia lakukan ibarat mencari
jarum dalam sekam).
- Metafora; membandingkan secara langsung antara dua hal atau
benda tanpa dinyatakan secara eksplisit (secara implisit) dengan
menggunakan kata seperti dan
sejenisnya. Metafora merupakan gaya bahasa perbandingan yang paling
singkat, padat, dan tersusun rapi. (contoh : pemuda adalah tulang punggung Negara).
- Personifikasi (penginsanan), yaitu melekatkan sifat-sifat
insane (hidup), pada barang yang tidak bernyawa (mati) pada ide yang
abstrak. (contoh : nyiur
melambai-lambai ditembus angin)
- Antitesis, membuat
perbandingan (komparasi) antara dua antonym atau kata-kata yang menyatakan
makna bertentangan satu sama lain) (Contoh : anak itu malah bangga atas kegagalannya…)
- Pleonasme, pemakaian kata yang berlebihan (mubazir), yang
sebenarnya tidak perlu. Tanpa
adanya kata tersebut tidak akan merubah makna aslinya. (contoh : Sayalah yang memmbawa buku itu dengan
tangan saya sendiri. Saya melihat
kecelakaan dengan mata kepala saya sendiri)
- Tautologi; hampr sama dengan pleonasme, tetapi pengulangan
kata itu hanya mengulangi secara berlebihan dari kata yang lainnya.
(contoh : Sang Ibu mencintai anak
yang merupakan darah dagingnya sendiri;
Dody mengawini jada, wanita yang ditinggal mati suaminya)
Majas Pertentangan,
meliputi :
- Hiperbola; pernyataan yang sengaja melebih-lebihkan isi
peernyataan, baik dari segi jumlahna, ukurannya, maupun sifatnya, dengan
maksud untuk memperhebat atau meningkatkan kesan serta pengaruhnya.
(contoh : Mayat bergelimpangan di
jalan akibat bencana tsunami. (padahal hanya ada beberapa orang yang
meninggal)
- (Jantungku hampir copot menyaksikan acrobat yang berjalan di atas
kabel listrik) (Aku mengenali pencuri ini dari ujung kaki sampai dengan ujung
rambut).
- Litotes; kebalikan dari
hiperbola, yaitu pernyataan yang
menyederhanakan, atau mengecilkan dari kenyataan yang sesungguhnya. Dengan maksud untuk merendahkan, tidak
ingin menonjolkan. (contoh : Terimalah pemberian kami yang tidak
berharga ini) (Kalau Ibu berkenan mampirlah ke gubuk saya).
- Ironi; makna yang bertentangan dengan maksud
berolok-olok. (Contoh : pandai
benarkau mengerjakan soal semudah ini tak ada yang benar) (Nana memang
anak paling rajin, kalau bangun tidur tidak pernah kurang dari jam 09.00)
- Paralipsis; suatu formula yang digunakan sebagai
sarana untuk menerangkan bahwa
seseorang tidak mengatakan apa yang tersirat dalam kalimat itu sendiri.
(contoh : Bimo mempersunting seorang
gadis cantik. = maksudnya
seorang janda cantik) (bukankan Negara ini masih terjajah =
maksudnya sudah merdeka)
- Paradoks; pernyataan dua hal yang saling
bertentangan satu sama lain. (contoh : Dia
mengalami kesepian do tengah keramaian kota Jakarta ini)
- Klimaks; pernyataan yang
mengandung beberapa pikiran/gagasan dan disusun secara berurutan dari hal
yang sederhana meningkat ke hal yang rumit, dari hal yang kecil ke hal
yang besar, dari hal yang kurang penting ke hal yang paling penting. (contoh : Tujuan pembelajaran bahasa Indonesia agar siswa memperoleh
ketrampilan menyimak, membaca, berbicara, dan menulis.) (Jangankan
seminggu, sebulan, setahun atau seminggu pun kami tetap menunggumu)
- Antiklimaks; Kebalikan
dari klimaks, (contoh : jangankan seribu, seratus pun aku
tidak sanggup member)
- Sinisme; sindiran yang
berbentuk kesangsian yang mengandung
ejekan kepada seseorang (seperti halnya ironi yang lebih besar
sifatnya)
(contoh : memang Andalah yang paling kaya mampu menguasai
pelabuhan-pelabuhan di negeri ini)
- Sarkasme; sindiran pedas dan menyakiti hati. (contoh : tingkah lakumu sungguh memalukan kami) (kerakusannya membawa malapetaka bagi kehidupannya.
Majas Pertautan
- Metonimia; suatu majas
yang menggunakan nama cirri atau nama hal yang dihubungkan dengan nama
orang, barang, atau hal sebagai penggantinya. (contoh : Sering terjadi pena mematikan langkah seorang tokoh dalam karir
politiknya./pena = tulisan) (Ia baru saja membeli Mitsubishi dengan harga
yang murah/Mitsubishi = mobil) (Saya suka membaca Romo Mangunwijaya/= karya
Romo Mangunwijaya)
- Sinekdoke; menyebutkan
bagian sebagai pengganti nama keseluruhannya atau kebalikannya. Sinekdoke
terdiri atas dua macam, yaitu pars pro toto dan totem pro parte. Pars pro
toto adalah menyebutkan sebagian dari suatu hal untuk menyatakan
keseluruhannya. Totem pro parte adalah menyebutkan keseluruhan untuk
menyatakan sebagian. (contoh : Jakarta
dikecam oleh Negara-negara Barat berkaitan dengan kasus pelanggaran HAM=Pars
pro toto) (Indonesia berhasil
menundukkan China dalam pertandingan Tomas Cup = totem pro parte)
- Alusi/kilat; berupa
acuan yang menunjuk secara tidak langsung ke suatu peristiwa atau tokoh
dengan anggapan bahwa hal itu sudah diketahui bersama, baik
penutur/penulis maupun pendengar/pembaca. (contoh : Peristiwa Mei 1998 sungguh merupakan tragedy nasional) (Bencana
Aceh merupakan bencana nasional)
- Eufisme; ungkapan yang
lebih halus sebagai pengganti perkataan yang dirasakan kasar, yang mungkin
menyinggung perasaan dan merugikan.
(contoh : Wanita yang setiap
hari melewati depan rumah ini, agaknya kurang setengah) (Para tunakarya
disalurkan pemerintah menjadi TKI)
- Eponim; pernyataan yang
mengandung nama seseorang yang sering dihubungkan dengan sifat/bentuk
tertentu (contoh : Dewi fortuna
belum memihak kepada kesebelasan kita) (Dewi ruci kebanggaan Indonesia
mengarungi lautan luas tanpa rasa takut.)
- Epitet; mengandung acuan
yang menyatakan suatu sifat atau cirri yang khas dari seseorang atau
sesuatu hal. (contoh : raja siang
dihambat awan tipis yang berarak-arak di ufuk timur.) (mengapa merpatiku
pergi tanpa meninggalkan pesan)
- Erotesis/pertanyaan
retoris; berupa pertanyaan yang tidak menuntut suatu jawaban (Contoh : Apakah kita biarkan korupsi merajalela
di negeri ini) (pendidikan nasional memang sedang merosot. Apakah wajar
jika semua kesalahan ditimpakan kepada para guru?)
- Paralelisme; kesejajaran
dalam pemakaian kata-kata/frase-frase yang menduduki fungsi yang sama
dalam bentuk gramatikal yang sama.
(contoh : Kaum pria maupun
kaum wanita sama kedudukannya di depan hokum) (potensi kekayaan Indonesia
terdapat di darat dan laut)
- Elipsis; penghilangan
kata yang memenuhi bentuk kalimat berdasarkan struktur kalimat.
- Asindenton; acuan
padat beberapa kata, frase,
atau klausa, yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung, tetapi
hanya dipisahkan oleh tanda koma. (contoh : kami datang, kami menang dalam pertandingan itu.) (Politik
kepentingan sering memanfaatkan sentiment agama, suku, ras, dan
antargolongan) (seminar itu membahas masalah narkoba, seks bebas,
kriminalitas yang melibatkan para remaja)
- Polisindenton; seperti
halnya asidenton, namun disusun secara berurutan dan menggunakan kata
penghubung (contoh : Adik suka
boneka panda dan mobil-mobilan, dan alat masak-masakan)
Majas Perulangan :
- Aliterasi; perulangan
konsonan yang sama pada seluruh baris.
( contoh : bila biduan berani
berkicau) (kata kanda kala kacau)
- Asonansi; jenis majas
repetisi yang berupa perulangan
pada vocal yang sama. (contoh :
Sudah luka tujuan terjungkal)
(anak dara aman dijaga)
- Antanaklasis; perulangan kata yang sama, tetapi
maknanya berbeda. (contoh : Di Aman
ternyata tidak merasa aman) (Kembang di taman ini tidak berkembang) (Sabar
ternyata bukang orang yang sabar)
- Kiasmus; majas repetisi berupa perulangan kata dan sekaligus terdapat inverse hubungan antara dua kata dalam kalimat. (contoh : Sering orang beranggapan dirinya pintar merasa bodoh, dan orang yang bodoh menganggap dirinya pintar) (jangan memutarbalikkan fakta yang benar menjadi salah, dan yang salah menjadi benar)
- Anafora; perulangan kata
pertama pada setiap baris atau setiap kalimat. (contoh : Aku memandang sang bulan dalam
angan//aku tak sanggup melepas rinduku padanya//belajar merupakan
aktivitas insane//belajar tidak mengenal batas)
- Epistrofa; perulangan
kata/frase pada akhir baris secara berurutan. (contoh : duduk adalah hidup//berjalan adalah
hidup//bermain itu hidup//bekerja itu hidup//dan belajar juga adalah hidup)
- Simploke; perulangan
pada awal dan akhir secara berurutan. (contoh : engkau meminta aku duduk, aku bilang baiklah//engkau meminta aku
beristirahat. Aku bilang baiklah//engkau meminta aku bangun, aku bilang
baiklah)
PERIBAHASA
- Pepatah
- Perumpamaan
- Ungkapan
Pepatah
Jenis
peribahasa yang dinyatakan dengan kalimat yang tetap susunannya dan mengiaskan
suatu maksud tertentu. Yang dikiaskan adalah suatu keadaan atau kelakuan
seseorang. Pepatah juga mengandung nasihat atau ajaran dari orang-orang tua. (contoh : bermain
air basah, bermain api hangus = setiap pekerjaan atau perbuatan ada akibatnya)
(air jernih ikannya jinak = negeri yang subur/teratur pemerintahannya
penduduknya sopan santun)
Perumpamaan
Jenis
peribahasa yang berupa perbandingan dan dinyatakan dengan kalimat yang tetap
susunannya serta mengiaskan waktu tertentu. Perumpamaan mengungkapkan keadaan
atau kelakuan seseorang dengan mengambil perbandingan dari alam. Perumpamaan
biasanya didahului kata-kata yang menyatakan perbandingan, kata seperti,
sebagai, laksana, bak, bagai, seumpama, macam, umpama.
(contoh
: seperti abu di atas tunggul = seseorang
yang sangat goyah kedudukannya) (Bagai berpijak bara hangat = seseorang yang
sangat gelisah karena suatu masalah)
Ungkapan
Kelompok
kata yang bersifat tetap dan digunakan untuk menyatakan sesuatu maksud dengan
arti kias. (contoh : Perundingan Israel
dan Palestina menemui jalan buntu = mengalami kegagalan) ( Dia patah hati karena dikhianati kekasihnya
= kecewa)
TUGAS
- Pernyataan
di bawah ini tergolong bermajas apa?Jelaskan!
- Agama adalah kompas kita dalam
mengarungi samudera kehidupan yang penuh dengan badai dan gelombang.
- Suka duka hidup ini membuat kami makin
menyatu.
- Membeli pakaian tidak usah yang
mahal-mahal, cukup seharga seratus ribu, tujuh puluh lima, atau lima puluh
ribu pun sudah pantas dipakai
- Mukanya pucat bagai bulan kesiangan
- Anak Bapak belum waktunya naik kelas
- Orang yang berubah akalnya itu perlu
dibawa ke RSJ
- Dunia terasa runtuh saat aku menghadapi
kenyataan seperti itu
- Coret-coret di tembok itu bagus sekali
- Dari kecil, dewasa hingga setua ini
belum pernah merasakan kedamaian
- Hanya segelas air putih ini yang dapat
kami sajikan
- Ia merasa kesepian karena ditinggalkan
si jatung hatinya
- Ia berlangganan Kompas sejak bekerja di
kantor ini
- Tutur katanya halus tapi menyayat hati
- Hanya surat inilah yang menghubungkan
kami dengan dia
- Di sini dia lahir, di sini berjuang, dan
di sini ia meninggal
- Lintah darat beroperasi di mana-mana
- Bagai telor di ujung tanduk
- Didatanginya tiap pintu untuk mengharap
belas kasihan
- Indonesia menang dalam perebutan piala Thomas
- Tidak, tidak mungkin ia
berbuat sekejam itu
- Berhari-hari ia terbenam
dalam buku
- Pikirannya
melayang-layang entah ke mana
- Aku mau hidup seribu
tahun lagi
- Hidup mati kuingin
bersamamu
- Suaranya merdu bagai
buluh perindu
- Apa maksud peribahasa dan ungkapan di bawah ini!
- Air beriak tanda tak
dalam
- Air cucuran atap
jatuhnya ke pelimbahan juga
- Air susu dibalas dengan
air tuba
- Anak di pangkuan dilepaskan, beruk di rimba disusukan
- Bagai air di atas daunt
alas
- Barang siapa menggali
lubang, dia juga terperosok ke dalamnya
- Belakang parang pun
kalau diasah tajam juga
- Berat sama dipikul,
ringan sama dijinjing
- Besar pasak daripada
tiang
- Besar kapal besar pula
gelombangnya
- Bila mengikat hendaknya
bertali
- Bunga yang harum itu
ada juga durinya
- Buruk muka ceermin
dibelah
- Datang tampak muka,
pergi tampak punggung
- Gajah berjuang sama
gajah, pelanduk mati di tengah-tengah
- Bergantung pada akar
yang lapuk
- Harapkan burung terbang
tinggi punai di tangan dilepaskan
- Sehari selembar benang
, lama-lama menjadi kain
- Hujan emas di negeri
orang, hujan batu di negeri sendiri, baik juga di negeri sendiri
- Indah kabar dari rupa
- Kalah jadi abu menang
jadi arang
- Kalah membeli menang
memakai
- Karena nila setitik
rusaklah susu sebelanga
- Berkata peliharakan
lidah, berjalan peliharakan kaki
- Kasturi binasa karena
baunya, gajah mati karena gadingnya
- Lancar kaji karena
diulang, lancar pasar karena ditempuh
- Berlayar sampai ke
pulau, berjalan sampai ke batas
- Lempar baru sembunyi
tangan
- Lubuk akal tepian ilmu
- Mahal tak dapat dibeli
murah tak dapat diminta
- Di mana tak ada elang,
kata belalang akulah elang
- Manis jangan cepat
ditelan pahit jangan cepat dimuntahkan
- Disangka panas hingga
petang kiranya hujan turun tengah hari
- Takkan lari gunung
dikejar hilang kabut tampaklah dia
- Tangan mencencang bahu
memikul
Simaklah bacaan puisi
di bawah ini!
HUJAN BULAN JUNI
Oleh Sapardi
Djoko Damono
Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu
Puisi tersebut di atas ada dua majas yang dominan yaitu;
1.
Majas personifikasi;
yakni membandingkan hujan dengan sifat manusia, hujan memiliki sifat
tabah, bijak, dan arif. Sifat-sifat yang demikian biasanya hanya dimiliki oleh
manusia.
2.
Majas paralelisme; perulangan kata setiap baris, yaitu
“tak ada yang lebih”
Tentukan yang
termasuk majas hiperrbola, puisi di
bawah ini!
Kepada Peminta-minta
Baik-baik aku akan menghadap Dia
Menyerahkan diri dan segala dosa
Tapi jangan tentang lagi aku
Nanti darahku jadi beku
Jangan lagi kau bercerita
Sudah tercacar semua di muka
Nanah meleleh dari muka
Sambil berjalan kau usap juga
….
Tentukan yang
termasuk majas Personifikasi penggalan puisi di bawah!
Anak Molek V
Malas dan malu nyala pelita
Seperti meratap mencuri mata
Seisi kamar berduka cita
Seperti takut gentar berkata
Jawablah
pertanyaan di bawah ini dengan cermat!
(1) Kembang Setengah Jalan
Oleh : Armin
Pane
Mejaku hendak dihiasi
Kembang jauh dari gunung
Kau petik sekarang kembang,
Jauh jalan panas hari
Bunga layu setengah jalan
Pertanyaan :
- Bagaimana perasaan anda mendengar pembacaan puisi tersebut?
- Setelah memahami isi puisi tersebut di atas, apa temanya?
- Apa yang dimaksud ‘kembang jauh dari gunung’ pada lambing ungkapan
tersebut? Jelaskan!
- Apa yang dimaksud pada ungkapan ‘jauh jalan panas hari?’
- Jelaskan makna ‘bunga layu setengah jalan?’
TUGAS!
Buatlah paraphrase puisi
tersebut di atas dalam bentuk prosa!
(2)
Perpisahan
Akhirnya
peluit pun dibunyikan
Buat
penghabisan kali kugenggam jarimu
Lewat
celah kaca jendela
Lalu
perlahan-lahan jarak antara kita
Mengembang
jua
Dan
tinggallah rel-rel, peron dan lampu
Yang
menggigil di angin senja
(Elha)
Pertanyaan :
- Tentukan tema puisi tersebut di atas? Tunjukkan unsur pendukung
temanya
- Bagaimana perasaan yang terungkap dalam isi puisi di atas
- Tentukan setting perpisahan itu terjadi
- Bagaimana suasana yang dibangun gambaran perpisahan antara dua
tokoh yang terjadi dalam puisi
tersebut!
- Majas apakah yang diungkapkan melalui kata “tinggallah rel-rel
, peron, dan lampu yang menggigil
di angin senja”
Tugas!
Buatlah paraphrase puisi di
atas dalam bentuk prosa!
(3)
Sajak Putih
Bersandat
pada tari warna pelangi
Kau
depanku bertudung surya senja
Di
Hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum
rambutmu mengalun bergelut senda
Sepi menyanyi, malam dalam mendoa
tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita mati datang tidak membelah
… (Chairil
Anwar)
Pertanyaan :
- Tentukan tema puisi di atas? Jelaskan!
- Jika puisi tersebut dikisahkan, kapan terjadinya? Darimana Anda
tahu?
- Bagaimana suasana yang terjadi menuurut isi puisi tersebut?
- Apa maksud ungkapan “di hitam matamu kembang mawar dan melati”,
dan menggunakan majas apakah ungkapan tersebut?
- Bagaimana suasana perasaan hati si penyair/penulis/pengarang pada
saat itu?
- Menggunakan majas apakah dari pilihan kata “sepi menyanyi, malam
dalam mendoa tiba”
- Jika dibuat prosa, Bagaimana hubungan antar tokoh dalam puisi
tersebut? Jelaskan!
Tugas!
Buatlah paraphrase puisi tersebut di atas menjadi Prosa!
(4)
Doa
Dengan
apakah kubandingkan pertemuan kita kekashku?
Dengan
senja samar spoi pada masa purnama meningkat naik,
Setelah
menghalaukan panas payah terik
Angin
malam menghembus lemah, menyejuk badan
Melambung
rasa menayang pikir
Membawa angan ke bawah kursimu …
Hatiku terang menerima katamu, bagai bintang memasang
lilinnya
Kalbuku terbuka menunggu kasihmu, bagai sedap malam
menyirak kelopak
Aduh
kekasihku, isi hatiku dengan katamu, penuhi dadaku dengan cahyamu
Biar bersinar
mataku sendu, biar berbinar gelakku rayu!
(Amir
Hamzah)
Pertanyaan :
- Siapa yang dimaksud dengan panggilan kekasihku dalam puisi
tersebut?
- Bagaimana perasaan pengarang yang terungkap dalam puisi tersebut?
Tunjukkan
- Manakah yang menyatakan sikap pengarang mengungkapkan perasaannya?
Jelaskan!
- Apa yang dimaksud “membawa angan ke bawah kursimu?” pada puisi tersebut
di atas? Jelaskan!
- Adakah unsur rima pada pilihan kata “Hatiku terang menerima katamu, bagai bintang memasang lilinnya” Ungkapan tersebut menggunakan majas apa?
- Tunjukkan adanya unsur rima pada pilihan kata “kalbuku terbuka menunggu kasihmu, bagai
sedap malam menyirak kelopak”.
Ungkapan tersebut menggunakan majas apa?
Tugas!
Buatlah paraphrase
puisi di atas ke dalam prosa!
Perempuan-Perempuan Perkasa
Oleh : Hartoyo Andangjaya
Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta,
dari manakah mereka
Ke stasiun kereta mereka datang dari bukit-bukit
desa
Sebelum peluit kereta pagi terjaga
Sebelum hari bermula dalam pesta kerja
Perempuan-perempuan yang membawa bakul dalam kereta,
ke manakah mereka
Di atas roda-roda baja mereka berkendara
Mereka berlomba dengan surya menuju gerbang kota
Merebut hidup di pasar-pasar kota
Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta,
siapakah mereka
Mereka ialah ibu-ibu yang perkasa
Akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke
kota
Mereka:cinta kasih yang bergerak menghidupi desa
demi desa.
1. Siapakah yang dilukiskan
perempuan-perempuan perkasa!
2. Bagaimana kegiatan yang
dilakukan dalam gambaran perempuan-perempuan perkasa dalam puisi tersebut?
3. Bagaimana sikap penyair
terhadap perempuan-perempuan perkasa, yang dilukiskan dalam puisi tersebut
4. Termasuk majas apakah:
a. “Sebelum peluit kereta pagi
terjaga”
b. “Sebelum hari bermula dalam
pesta kerja”
c. “mereka ialah ibu-ibu yang perkasa, akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota”