Minggu, 08 November 2020

KARYA SASTRA BENTUK PROSA DAN PUISI

A.  HAKIKAT APRESIASI

Hakikat apresiasi adalah suatu langkah untuk mengenal,memahami dan menghayati suatu karya yang berakhir dengan timbulnya pencelupan atau rasa menikmati karya tersebut.

B.  Proses Apresiasi :

1.    Upaya mengeksplorasi  jiwa pengarang ke dalam bentuk bahasa yang akan disampaikan kepada orang lain

2.    Upaya menjadikan sastra media komunikasi antara Pengarang atau pencipta dan peminat sastra

3.    Upaya menjadikan sastra sebagai alat penghibur dalam arti pemuas hati peminat sastra

4.    Upaya menjadikan isi karya sastra sebagai bentuk ekspresi pengarang atau sastrawan.

Untuk mengapresiasi karya sastra atau teks sastra perlu dilakukan aktivitas sebagai berikut:

a.    Mendengarkan /menyimak

b.    Membaca

c.    Menonton

d.    Mempelajari bagian-bagiannya

e.    Menceritakan kembali

f.     Mengomentari

g.    Meresensi

h.    Membuat parafrase

i.      Menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan karya sastra

j.      Merasakan seperti ; mendeklamasikan ( untuk puisi) atau melakonkan (untuk drama)

k.    Membuat sinopsis cerita dan sebagainya.

C. Jenis Apresiasi :

a.    Memberikan penilaian dan penghargaan yang positif bagi semua karya sastra.

b.    Memberikan penjelasan secara objektif dan mempertanggungjawabkan sikap kepada orang lain.

c.    Menarik pikiran dan perasaan atau jiwa seninya.

d.    Merespons karya dengan bentuk sikap atau apresiatif kinetik dan sikap tindakan atau apresiatif bersifat verbalitas.

 

Apresiasi bersifat kinetik : sikap memberikan minat pada sebuah karya sastra lalu  berlanjut keseriusan untuk melakukan langkah-langkah apresiatif secara aktif.

Apresiasi bersifat verbal : pemberian penafsiran, penilaian dan penghargaan yangberbentuk penjelasan, tanggapan, komentar, kritik, dan saran, serta pujian baik lisaan maupun tulisan.

Hirarki keseusasatraan Indonesia :

1)    Prosa

2)    Puisi

3)    Drama

4)    Film

Karya sastra yang menjadi acuan dalam pembelajaran ini, menyangkut karya sastra bentuk prosa, puisi. Drama, dan film, seperti tersebut di atas.

 

D. PROSA

Prosa itu merupakan Jenis karya sastra yang bebas tanpa terikat adanya unsur, rima, ritma, maupun metrum/matra, seperti halnya puisi. Prosa merupakan karya sastra yang berbentuk penceritaan atau pengisahan.

Yang tergolong karya sastra bentuk prosa misalnya; cerpen, novel, roman, dongeng, anekdot, kisah perjalanan hidup (biografi) dan sebagainya.

 

            Menganalisis Prosa

a.    Berdasarkan unsur pembangunnya, suatu prosa dibangun oleh dua unsur, yakni;

1)    Unsur Instriksik, (unsur yang membangun dari dalam, yang merupakan berpijaknya suatu karya itu diciptakan). Yang termasuk unsur instrinsik prosa; antara lain : tema, amanat, tokoh, penokohan, alur, sudut pandang, gaya bahasanya.

2)    Unsur Ekstrinsik, (unsur yang membangun dari luar). Bahwa setiap karya yang diciptakan selalu melukiskan adanya; latar belakang kehidupan pengarangnya). Misalnya; pendidikannya; kebudayaan yang diikuti; politik, perekonomian, sosial; pandangan hidup, dan sebagainya.

b.    Berdasarkan Strukturnya; prosa dibangun dengan struktur sebagai berikut;

1)    Abstrak

2)    Orientasi

3)    Komplikasi

4)    Evaluasi

5)    Resolusi

6)    koda


UNSUR INSTRINSIK PROSA

1.    Tema

Tema merupakan pokok pikiran atau ide yang melandasi suatu cerita itu dikembangkan. Tema merupakan bingkai dari cerita. Suatu cerita alurnya mengarah pada ide/pokok persoalan. Tokoh dan unsur lainnya, akan membangun suatu cerita yang mengarah pada pokok persoalannya.

Tema Utama dalam karya sastra Indonesia:

1)    Percintaan

2)    Sosial

3)    Budaya

4)    Politik

5)    Religiusitas

 

Perhatikan contoh penggalan cerita berikut!

(1)

Hesti sebenarnya tidak sedikitpun memiliki rasa simpati kepada pemuda itu. Namun karena menjaga rasa menghormati keputusan orang tuanya, maka Hesti terpaksa menuruti kehendak ayahnya untuk menerima cintanya Dodik. Walaupun sebenarnya Hesti tahu, bahwa kelak akan membawa keluarganya yang kurang harmonis.

 

- Penggalan cerita di atas yang dibahas mengenai percintaan

- Percintaan yang dibangun oleh pengarang secara dipaksakan

Maka, tema atau pokok persoalannya mengenai “Kawin Paksa”

(2)

Penggalan Novel  Judul : Warung Panajem, Ahmad Tohari)

Bunyi yang kering dan tajam selalu terdengar setiap kali mata cangkul Kartawi menghujam tanah tegalan yang sudah lama kerontang. Setiap kali pula debu tanah kapur memercik. Pada setiap detik yang sama Kartawi merasa ada sentakan keras terhadap otot-otot tangan sampai ke punggungnya. Dan petani muda itu terus mengayunkan cangkul. Maka suara yang kering tajam, percikan debu, dan sentakan-sentakan otot terus runtut terjadi di bawah matahari kemarau yang terik. Kaos oblong yang dipakai Kartawi sudah basah oleh keringat. Kedua kakinya penuh debu hingga kelutut. Dan di bawah bayangan caping bambu yang dipakainya, wajah Kartawi tampak lebih tua dan amat letih.

Pertanyaan :

·         Apa yang dibahas dalam penggalan novel di atas.

·         Tunjukkan kata kunci yang menggambarkan tema/pokok persoalan

(3)

Sejak awal pertemuan hingga masa terus berlalu, tak pernah menyangka kalau akhirnya Peno harus meninggalkan Rani begitu saja. Cinta yang dibangun puluhan tahun tidak membentuk mahligai rumah tangga. Rani, harus menerima kepahitan dalam hidupnya. Kini Peno harus menuruti kehendak orang tuanya.

Pertanyaan :

·         Apa yang diungkapkan pengarang dalam penggalan cerita di atas

·         Tunjukkan kata kunci yang melukiskan tema/persoalan pokok.

 

2.      Tokoh/Pelaku

a.       Tokoh bijak/baik, atau tokoh yang mendukung pokok persoalan/temanya. Tokoh yang mendukung tema, tidak menyimpang dan berlaku baik disebut tokoh PROTAGONIS

b.      Tokoh yang menyimpang/menentang pokok persoalan/tema, disebut tokoh ANTAGONIS

Dalam setiap cerita karangan, penulis selalu mengkondisikan kedudukan tokoh sebagai Protagonis dan Antagonis. Tujuannya agar terjadi komplikasi (konflik). Namun, jika dalam cerita dibangun terus menerus terjadi konflik, cerita tidak menarik, maka perlu adanya tokoh penyeimbang, yang disebut tokoh TRITAGONIS. Maka dalam setiap tokoh harus dikondisikan memiliki cara dan gaya yang berbeda, itulah yang disebut Perwatakan/karakter/penokohan.

3.      Penokohan

Penokohan merupakan salah satu unsur instrinsik karya sastra, di samping tema, plot, setting, sudut pandang, dan amanat.  Penokohan adalah cara pengarang untuk menggambarkan dan mengembangkan karakter/watak tokohnya dalam cerita.

Untuk menggambarkan karakter seorang tokoh dalam cerita, pengarang dapat menggunakan teknik, sebagai berikut :

 

a.      Teknik analitik, karakter tokohnya dalam cerita digambarkan secara langsung oleh pengarang

b.      Teknik dramatik, karakter tokohnya dalam cerita digambarkan melalui:

Ø      Penggambaran fisik dan perilaku tokoh

Ø      Penggambaran lingkungan kehidupan tokoh

Ø      Penggambaran dari gaya bahasa dialog tokohnya

Ø      Pengungkapan jalan pikiran tokoh

Ø      Penggambaran melalui tokoh lain

 

Perhatiakan penggalan cerita berikut ini :

(1)

Tiada tandingannya pada itu jaman, bijaksana arif budiman. Tiada melanggar hadis dan firman taat kepada Illahi Rahman …, sekalian larangan tidak berani.

Penggambaran watak tokoh yang bijaksana, arif, taat, dan sebagainya dilukiskan secara langsung oleh pengarangnya. (cara Analitis)

(2)

Kartawi menelan ludah. Ia merasa ada gelombang pasang naik dan menyebar ke seluruh tubuh pembuluh darahnya. Di bawah cahaya lampu listrik 10 watt, wajahnya tampak sangat berat dan kecut.

Penggambaran penokohan penggalan kisah di atas dilukiskan melalui fisik dan perilaku tokohnya.

(3)

Ruang tamu sudah demikian rusak, berantakan, lebih dari kalau anak-anaknya mengadakan pesta ajojing pada ulang tahun mereka. Sementara itu Roh dan kedua temannya masih saja ngorok dengan sejahtera.

Penggambaran dari lingkungan kehidupan tokohnya

(4)

Dengan lincah Desi memasuki ruang tengah rumahnya. Sore itu tidak ada bekas habis hujan. Langit cerah, secerah wajah Desi. Ketika masuk pintu, sudah ditunggu beberapa teman yang sedang berbincang dengan ibunya. “Halo, Peno, Rani, Uci...sudah lama menunggu saya ya. Maaf, aku agak terlambat, di jalan terjadi macet...”

Perwatakan tokoh Desi : ceria, ramah. Dibuktikan melalui penggambaran sikap dan ucapannya. 

4.      Alur (plot)

Alur merupakan Jalan cerita atau cara pengarang bercerita. Alur merupakan rangkaian atau tahapan serta pengembangan cerita.

Secara umum jalan cerita terbagi atas bagian-bagian, antara lain;

 

a.       Pengenalan situasi cerita (exposition)

Dalam bagian ini pengarang mengenalkan para tokoh, mulai menata edegan dan hubungan antartokoh.

b.      Pengungkapan peristiwa (complitation)

Dalam bagian ini disajikan peristiwa awal yang menimbulkan berbagai masalah, pertentangan, ataupun kesukaran-kesukaran bagi para tokohnya.

c.       Menuju adanya konflik (rising action)

Terjadi peningkatan perhatian kegembiraan, kehebohan, ataupun keterlibatan berbagai situasi yang menyebabkan bertambahnya kesukaran tokoh.

d.      Puncak konflik (turning point)

e.       Bagian ini disebut pula sebagai klimaks. Inilah bagian cerita yang paling besar dan mendebarkan. Pada bagian ini pula, ditentukan perubahan nasib beberapa tokohnya. Misalnya; apakah dia berhasil menyelesaikan masalah atau sebaliknya tokoh gagal untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi.

f.        Penyelesaian (ending)

Sebagai akhir cerita, pada bagian ini berisi tentang penjelasan nasib-nasib yang dialami tokohnya setelah mengalami peristiwa puncak itu. Tapi ada pula novel yang menggantungkan penyelesaiannya, maka perlu imajinasi pembacanya agar menentukan sendiri menurut pemikiran pembacanya.

 

Perhatian contoh :

 

Puncak konflik

Menuju pada konflik

Penyelesaian

Pengungkapan peristiwa

 

Pengenalan cerita

 

Konflik merupakan inti dari suatu alur. Konflik merupakan terjadinya pertentangan. Pertentangan dalam kehidupan itu bisa terjadi pada dirinya sendiri (konflik batin); pertentangan antara manusia dengan manusia, pertentangan antara manusia dengan lingkungannya (ekonomi, politik, agama, sosial, dan budaya, dsb.); pertentangan manusia dengan Tuhan atau keyakinannya.

Simaklah penggalan cerita berikut ini

Heri menghela napas panjang. Ichennya yang sederhana yang telah merenggut seluruh hatinya, telah berubah dan tak mau lagi mengenal dirinya. Heri merasa diombang-ambing perasaan dan hatinya oleh permainan yang diciptakan Ichen. Apakah kini ia telah melupakan ketertarikannya pada Ichen? Atau, akan menghentikan perburuannya dengan adanya perubahan yang telah ditunjukkan gadis itu? Ternyata tidak sama sekali. Heri justru merasa tertantang. Ia penasaran, apa yang diinginkan Ichen sebenarnya? Lalu, siapa pria muda yang menjemputnya tadai?

Kalau dilihat dari sikapnya, jelas pria tadi sangat dekat hubungannya dengan Ichen. Kekasihnyakah? Atau tunangannya? Mereka jelas datang dari etnis yang sama.

Menyadari hal itu semua membuat Heri jadi orang linglung. Kalau pada mulanya Heri tertarik pada Ichen karena kesederhanaan dan pesona gadis itu, kini, selain daya tarik itu, adalah karena kepandaian gadis itu berperan. Bagaimana mungkin dalam waktu yang begitu singkat ia bisa berubah penampilan. Siapakah Ichen sebenarnya? Dan apa maunya gadis itu?

Heri baru memarkir mobil di depan rumahnya saat dirasakannya ada bayangan yang berkelebat di belakangnya. Ketika menoleh, ternyata Ichen sudah berdiri di ujung pagar rumahnya. Heri tertegun memandang Ichen. Gadis ini sekarang sudah berubah lagi penampilannya. Tadi, di pemakaman, ia tampil modern dan modis. Kini sudah kembali seperti pertama kali mereka bertemu: lugu dan bersahaja sekali. (Ichen dan Ichen, Rosida

Setelah kalian membaca kutipan novel di atas, cukup tergambar tentang bentuk konflik yang menggerakan novel tersebut. Konflik-konflik tersebut berupa :

a.      Pertentangan tokoh utama dengan Ichen, yang menjadikannya keheranan dan bertanya-tanya

b.      Pertentangan tokoh utama dengan batinnya sendiri, antara menghentikan petualangannya memikat hati Ichen dan meneruskannya.

 

5.      Latar

Latar (setting) merupakan salah satu unsur instrinsik karya sastra.  Terliput ke dalam latar, antara lain; keadaan, tempat, waktu, dan budaya. Latar dalam suatu kisah/cerita merupakan pijakan di mana, kapan, bagaimana, seperti apa cerita itu mulai dikisahkan.

Perhatikan penggalan cerita berikut :

Pagi ini, lihatlah. Padang berembun. Sebagai sebuah kota pantai, hal ini termasuk jarang. Burung gereja yang selalu setia pada kubus-kubus beton, melayang dengan lambung, lalu menukik dengan sasaran hinggap akhir selalu saja tali-temali listrik dan telepon. Di Jalan, mobil-mobil sejak subuh telah berseliweran. Dan yang mencolok, bus kota sesak-sesak, nyaris oleng, dengan suara kernet yang senantiasa lantang: “Kosooongng, kosoooongng…!" 

Pengarang memilih kota Padang dan waktu pagi dalam penggalan cerita tersebut tentunya bukanlah suatu kebetulan. Pengarang memilih latar tersebut tentunya didasari oleh kepentingan atas tema, alur, penokohan cerita itu. Dengan demikian, kehadiran suatu latar berkaitan erat dengan unsur instriksik lainnya dalam suatu cerita.

Namun tentu saja pemilihan latar tidak hanya didasari oleh unsur instrinsik itu saja, tetapi juga ditentukan oleh kepentingan pengarang untuk memberi  kesan menarik kepada pembacanya.


6.      Sudut Pandang (Point of view)

Yaitu posisi pengarang dalam membawakan kisah/cerita. Posisi pengarang dalam membuat suatu kisah/cerita, dapat secara langsung sebagai tokoh utama (orang Pertama) dalam kisahnya, atau dapat pula posisinya sebagai pengamat saja, di samping itu pengarang ada juga yang sama sekali tidak terlibat dalam kisah itu, pengarang berada di luar cerita. (orang ketiga)

Dengan demikian sudut pandang berlaku sebagai orang pertama pelaku utama, dan orang pertama tokoh sampingan (pengamat). Sedangkan sudut pandang orang ketiga berlaku sebagai orang ketiga serba tahu, dan orang ketiga di luar cerita.

Perhatikan penggalan cerita di bawah ini :

1)      Di HIS semua murid harus berbahasa Belanda. Tapi ayah selalu mewajibkan kami berbahasa Jawa.

Suatu hari, ketika aku asyik bermain dengan teman-teman, Maryam memaksa pulang karena kami akan mengungsi ke kampung Batan. Kami mengungsi di sini bersama-sama pengungsi lain.

Pengarang dalam mengisahkan tokohnya menggunakan istilah ‘aku’, dan ‘kami’ atau  mungkin ‘saya’ sehingga dalam hal ini pengarang sendiri terlibat menjadi tokoh utamanya.  Kisah yang demikian inilah yang disebut menggunakan sudut pandang orang pertama.

2)      Pada suatu hari Idrus pergi ke rumah kekasihnya, Juwita. Ditemukannya Juwita pulang dengan seorang laki-laki bernama Mochtar. Idrus sangat sakit hatinya setelah mengetahui bahwa kekasihnya telah mengandung. Idrus sangat menyesal mendengar semua ini, karena Mochtar telah beristri dan mempunyai anak.

Penggalan kisah di atas, pengarang menceritakan tokoh lain yang dikisahkan melalui gaya pengarangnya, namun pengarang sama sekali tidak terlihat hadir dalam tokoh cerita itu, maka sudut pandang yang digunakan pengarang adalah orang ketiga. (dia, ia, mereka, dsb)

TUGAS!

Baca/simak dengan seksama kutipan di bawah ini!

 

PENANTIAN

Karya Nilawati H.W.

 

Gadis itu masih duduk di bawah pohon mempelam di tepi jalan, tak jauh dari terminal bus yang selalu hingar-bingar. Raut wajahnya yang cantik masih tampak nyata, meski kini telah menjadi kusam lantaran tak pernah lagi tersentuh bedak. Begitu pula rambutnya yang sedikit ikal dan tampaknya sedap untuk dibelai, kusut tergerai tersapu angin.

Pelan-pelan jarinya membuka tas plastik yang tergolek di pangkuannya sambil matanya melirik ke kiri-kanan, seolah-olah ia takut kalau-kalau ada yang memata-matainya.

Sejenak ia menarik nafas lega saat selembar foto tersembul keluar yang segera diiringi dengan senyumnya, bagaikan menyenyumi wajah pemuda tampan yang terpampang di situ.

“Mas, aku rindu sekali… Aku kangen. Kapan kau datang, Mas…?”,  desah lirih keluar dari bibirnya yang kedua sudutnya sebentar-sebentar melengkung turun, menahan isakan tangis.  “aku telah lama menunggumu di sini… seperti pesanmu, aku harus selalu sabar menunggu…”

Sesaat kemudian gadis itu menatap tajam mobil-mobil yang lalu-lalang di depannya. Terlebih lagi jika yang lewat itu mobil sedan biru, jantungnya berdebar-debar dan sesudah itu boleh dipastikan ia akan berlari-lari mengejarnya.

“Mas! Mas! Tunggu aku, Mas …”

Tetapi siapa yang mau menggubrisnya, menghentikan mobil dan membukakan pintunya buat gadis yang kusam itu. Mereka melahan mengumpat dan menjauh secepatnya lantaran menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. 

Gadis itu jadi kecewa. Tiada mobil yang sudi berhenti untuknya. Ia pun berhenti berlarian mengejar mobil-mobil. Bisa jadi lantaran lelah, tetapi mungkin juga ia mulai sadar. Tak seperti dulu beberapa tahun lalu ketika ia pertama kali bertemu dengan Hari di tempat yang sama, tak jauh dari terminal bis. Saat itu ia memang benar-benar kaget karena tiba-tiba sebuah sedan biru berhenti di dekatnya.

“Maaf, Dik. Bolehkah saya bertanya…?”

“Ohh, tentu saja…”

“Saya hampir kehabisan bensin. Sudikah Adik menunjukkan tempat penjualan bensin?” Pemuda itu berkata seraya membuka pintu mobilnya. Wajahnya yang tampan menyorotkan sinar kejujuran dan ini membuat si gadis tidak segan untuk masuk ke dalam mobil dan duduk di sebelahnya.

“Terima kasih. Kenalkan, saya Hari Setia. Panggil saja Hari..”, ujar si pemuda seraya mengulurkan tangan." 

“Saya Titi. Titisari…”, sahut si gadis menjabat tangan si pemuda. Sejenak keduanya terdiam, namun di kedua dada mereka dialog gencar lebih berarti daripada seribu kata yang terucap lewat bibir.

Bagi Hari sendiri, Titisari merupakan potret idaman hatinya. Rambutnya yang setengah ikal tersanggul sederhana dan beberapa bagian dibiarkannya terlepas menutup lekuknya. Bibirnya yang tipis memerah asli, bukan polesan lipstick seperti gadis-gadis kota. Begitu pula kebaya dan kainnya sangat sederhana membuat pesona indah di hati Hari.

Itulah pengalaman pertama Titisari, seorang gadis desa duduk dalam mobil mewah ditemani seorang pemuda tampan yang sopan dan baik hati. Titisari diantar pulang oleh Hari dan mobilnya berhenti di tempat semula.

“Bolehkah saya bertemu lagi dengan Titi di tempat ini?”  Hari memberanikan diri bertanya namun Titisari seperti berat untuk mengiakan. Ia menundukkan kepala sementara ibu jari kakinya menggores-gores di tanah.  Hari tersenyum.  “Bagaimana, bolehkah?”

Tersipu malu. Titisari akhirnya menganggukkan kepala sebagai tanda setuju.  Maka perjumpaan-perjumpaan berikutnya berlangsung dengan manisnya.

Setiap kali, Titisari selalu menanti di bawah pohon mempelam dekat terminal dan setiap kali pula hatinya berdebar keras jika Hari dan sedan birunya muncul serta berhenti di dekatnya.  Percitaan mereka seperti dalam cerita saja.  Suci—syahdu, meski diwarnai oleh kekontrasan yang mencolok.  Hari orang kota, anak orang kaya dan sebentar lagi meraih gelar insyinyur, sedang Titi anak desa, miskin dan sekolahnya hanya sampai sekolah dasar.

“Rasanya seperti khayalan mimpi saja jika saya mengharap Mas Hari benar-benar sudi mempersunting saya, anak orang desa yang mis…”  Kata-kata Titisari terhenti ketika telunjuk Hari menutup bibirnya.

“Jangan teruskan kata-kata itu, Titi. Aku tak peduli, sekalipun engkau hanya anak desa” tukas Hari meyakinkan. “Sudah bukan zamannya untuk membeda-bedakan derajat dan kekayaan dalam mempersatukan hati yang bercinta.  Kau tak perlu lagi bimbang Titi…”

Butiran air mata mengembun di sudut mata Titi, lalu meleleh jatuh di pipi. Ia merebahkan kepalanya di dada Hari.   Satu kemantapan semakin kokoh di hati Titi, bahwa Hari adalah benar-benar ditakdirkan untuk mencintainya.

Namun, harapan seringkali bertentangan dengan kenyataan. Ketika orang tua Hari mengetahui percintaan anaknya dengan gadis desa miskin itu, mereka pun langsung menentangnya.  “Ingat Hari, kau jangan terlalu menuruti keinginanmu tanpa persetujuan orang tua.  Mau kautaruh mana harga diri orang tuamu ini? Bayangkan kelak jika kau memperistri orang desa itu dan kedudukanmu sebagai orang penting di masyarakat akan memudar lantaran dia hanya lulusan sekolah dasar!”  Damprat ayahnya.  Hari mencoba menentangnya, namun ia tak berdaya.  Kekuasaan ayahnya terlalu kuat, bagaikan hempasan badai yang tak pernah surut dan Hari pasti akan terhempas ke batu karang jika berani menentangnya.

Suatu siang, selagi Titi menunggu di bawah pohon mempelam di dekat terminal, seorang laki-laki tua muncul.  “Kau akan sia-sia menunggu Hari, Nak. Ia telah pergi jauh dan tidak mencintaimu lagi. Lupakan dia, Nak. Demi kebaikanmu sendiri dan juga kebaikannya …”

“Tidak. Tidaaaaak! Ia telah berjanji akan menjadi suamiku…”,  Titi berlari sambil berteriak menjauh orang tua itu.  “Kau pasti bohong! Bohooooong!”

Siang itu, Titi masih menatap potret Hari di genggamannya. Hari seolah mengajaknya tersenyum, seperti biasanya setiap ia menghentikan mobil dan membukakan pintu serta mempersilakan Titi naik ke dalam. Lalu Titi pun ikut tersenyum panjang dan semakin panjang, disusul derai ketawa keras bercampur suara mesin mobil yang lalu lalang.

Tetapi kini, siapa yang sudi memperhatikan gadis malang yang selalu duduk menanti di bawah pohon mempelam dekat terminal? Siapa….?

 

        Pertanyaan :

  1. Sebutkan siapa pelaku utama cerita di atas?
  2. Bagaimana karakter masing-masing tokoh utama tersebut?
  3. Sebutkan siapa saja yang termasuk pelaku pendamping cerita tersebut?
  4. Bagaimana awal penceritaan tersebut terjadi? Di mana kisah itu terjadi? Jelaskan!
  5. Bagaimana ending cerita tersebut di atas? Jelaskan!
  6. Tuluskan hubungan percintaan tokoh dalam cerita di atas? Tunjukkan buktinya!
  7. Apa alur cerita yang digunakan peengarang? Tunjukkan buktinya!
  8. Apa tema cerita tersebut di atas?
  9. Buatlah alternatif  penyelesaian (pengakhiran) penceritaan yang berbeda dengan kisah di atas (menurut pendapat Anda)!
  10. Tunjukkan bentuk kata (ungkapan) yang menyatakan makna idiomatik!


Bacalah penggalan novel di bawah ini dengan cermat!

Pesan apakah yang hendak di sampaikan pengarang kepada pembacanya?

 

Bersama nenek, tidak ada bedanya, bagiku seperti bersama ibu. Diajarinya aku mencintai tanah dan segala yang tumbuh di atasnya. Diajarinya aku berbicara dengan suara rendah namun sejelas mungkin. Tak perlu bernada lebih tinggi dari kawan bicara. Seperti ibuku, nenek berpendapat bahwa tumbuh-tumbuhan juga berjiwa. Berkali-kali kudapati nenek berbicara kepada pohon jeruknya, kepada kembang-kembang melatinya, kepada kambojanya. Ketika aku baru tiba, diperkenalkannya aku pada cangkokan rambutan yang baru ditanam, kiriman dari seorang saudara yang mempunyai kebun luas di daerah Betawi. Sikap yang ramah penuh terima kasih selalu ditunjukkannya kepada pembantu dan petani yang bekerja di rumah maupun di sawah. Kakek dan nenek meskipun tidak bersamaan keduanya sepakat mengajariku untuk mengerti bahwa kita tidak bisa hidup sendiri, karena seseorang memerlukan orang lain untuk merasakan gunanya kehadiran masing-masing.  Kelaakuan yang sama harus pula ditunjukkan kepada semua makhluk termasuk binatang dan tumbuh-tumbuhan.

 

Menyimak kutipan Novel.

 

Berikut disajikan kutipan novel Jalan Menikung, karya Umar Kayam.  Teman Anda atau Guru akan membacakan kutipan tersebut, siswa menyimak dengan sungguh-sungguh!

HARIMURTI

 

Waktu Harimurti kembali dari kamar korekktor, di meja kamarnya dilihatnya ada pesan dari Maryanto, pemimpin redaksi, yang mengajaknya makan siang di Phonix, sebuah restoran Cina gaya Szechauan yang mewah di bilangan kota. Wah kok tumben betul Bos mengajak saya ke tempat itu, gumamnya. Apa tidak salah mengundang nih, tanya hatinya  lagi. Tapi pesan akhir di nota itu jelas betul. “Jangan lupa ya, Har. Jam satu, ruang tunggu Phoenix.”

Harimurti di belakang mejanya membalik-balik tumpukan kertas-kertas naskah yang sudah bersih, siap untuk dicetak. Tetapi pikiranya tidak di situ. Masih menjadi pikiran benar nota kecil dari bosnya itu. Undangan makan siang itu dirasanya aneh dan sangat tiba-tiba. Aneh, karena meskipun dia seorang anggota redaksi cukup senior, tetapi tidak cukup tinggi dan dekat dengan Maryanto yang di kantor penerbit Mulia Mutu yang bergengsi itu dianggap sebagai dewa yang kedudukannya jauh tinggi di awan, yang nyaris terjangkau oleh redaktur setaraf Harimurti. Namun, itu tidak berarti bahwa Harimurti adalah redaktur papan bawah yang jarang masuk hitungan Maryanto. Harimurti tahu pekerjaannya dinilai baik oleh atasan-atasannya dan Maryanto tidak asing dengan pekerjaan Harimurti. Itu Harimurti tahu. Namun begitu, undangan siang itu tetap dianggapnya istimewa dan aneh.

Di Phoenix mereka duduk menghadap jendela yang lebar yang memberinya pancakar langit Jakarta yang diselimuti kampung-kampung kumuh para migran pedalaman.

“Kita mulai dengan Bintang dingin dulu, ya? Mau bir, kan?”

“Saya jus jeruk manis saja.”

“E… lho! Redaktur senior kok… Okelah. Tapi makannya saya yang pilih. Kita mulai dengan sup kepiting pedas, lantas udang besar pedas, tahu dengan sayur pedas, nasi putih. Semua serba pedas. Wong masakan Szechuan, kok.  Cukup, ya? Makan siang jangan kebanyakan, nanti mengantuk.” Harimurti mengangguk. Kan kamu yang mentraktir, gumam Harimurti dalam hati.

Waktu minuman dan makanan sesudah itu dihidangkan di meja, mereka meneguk dan melahapnya dengan penuh selera. Maryanto, meskipun menjamu bawahan, bersikap rileks dan ramah tanpa beban layaknya seorang  bos perusahaan penerbit yang besar. Maka Harimurti pun merasa rileks juga sikapnya. Semua lelucon bosnya ditanggapi dengan hangat, sampai tiba-tiba Maryanto memutus percakapan yang hangat itu dan menggesernya dengan “Begini, Har” yang serius sekali. Maryanto lantas menceritakan bahwa seminggu sebelumnya dia dikunjungi oleh seorang kawan lamanya yang sekarang menjadi seorang perwira tinggi intel. Perwira intel tersebut kemudian langsung menegurnya, karena dia sudah alpa, bahkan teledor tidak melaporkan kepada Pengawas Keamanan Negara bahwa salah seorang staf redaksinya yang senior masuk dalam kategori “tidak bersih diri” dalam waktu yang cukup lama dalam perusahaan yang dia pimpin. “Ini bisa dinilai sebagai satu pelanggaran yang serius sekali,” katanya.

“Waktu saya tanyakan siapa yang dia maksud dengan redaktur senior saya yang tidak bersih diri, maka dia menyebut namamu, Har.”

Harimurti mendengarkan kalimat-kalimat yang keluar dari mulut Maryanto dengan tenang, meskipun di dalam dadanya dia merasakan degup jantungnya berjalan lebih keras lagi. Kemudian, “Bagaimana pendapatmu, Har?”

“Bukankah saya sudah dibebaskan dari tahanan bertahun-tahun yang lalu, bahkan jauh sebelum saya kawin. Dan, yang lebih penting lagi, saya sudah dijamin oleh almarhum pakde saya, seorang kolonel Angkatan Darat, Pak.”

“Ya, itu saya tahu semua. Bahkan, karena itu kamu kami terima di perusahaan kami. Tapi, kawan saya, sang intel, itu tidak mau tahu. Semua file  harus diperiksa dan ditinjau kembali. Katanya, “Kami tidak mau kecolongan lagi.” Dia memperingatkan saya, sebagai kawan, katanya, untuk jangan ragu-ragu memecat kamu dan membuangmu jauh dari perusahaan kita. Kalau tidak …” Maryanto menarik napasnya panjang-panjang.

Harimurti mendengarkan cerita Maryanto tetap dengan tenang meskipun hatinya mulai membentuk berbagai kaledoskop dari berbagai pecahan dan kepingan kenangan dan kemungkinan hari depan. Dia melihat, misalnya, almarhum bapak dan ibunya berdiri di kejauhan melambaikan tangan mereka dan tersenyum. Kemudian almarhumah pacarnya, Gadis yang meninggal ketika melahirkan bayi kembarnya, di rumah tahanan. Kemudian, tempat tahanan dia sendiri. Apakah cerita Maryanto yang disampaikan kepadanya itu suatu pertanda bahwa dia akan harus mengulangi penderitaan seperti itu lagi?  Apakah penderitaan itu bagian dari suatu siklus besar penderitaan juga? Apakah itu termasuk kepercayaan kejawen orang Jawa? Dia mulai melihat juga Eko yang waktu itu sedang belajar di tingkat sophomore suatu college kecil di Negara bagian Connecticut, Amerika Serikat. Eko anaknya dari sepupu jauh dari pihak almarhumah ibunya, 20 tahun yang lalu. Bagaimana hari depan anak tunggalnya itu?

“Kalau tidak saya ikuti anjuran teman saya perwira tinggi intel itu, Har, perusahaan kita akan terpaksa ditutup.”

Harimurti sudah siap dengan kalimat terakhir bosnya itu.

“Baik, saya akan mengundurkan diri, Pak.”

“Terima kasih, Har. Kau tidak hanya menyelamatkan saya, tetapi berates periuk nasi pekerja perusahaan ini. Terima kasih, Har.”

Waktu mereka keluar dari Restoran Phoenix, ternyata di luar hujan gerimis turun. Harimurti menolak tawaran bosnya untuk naik mobilnya. Dia memilih berjalan kaki dulu, mlipir-mlipir jalan berpembawaan luwes dan santai sepanjang tritisan toko-toko. Tidak dirasanya ada seekor anjing kurus mengikutinya.

Waktu umur Harimurti mendekati empat puluh tahun, orang tuanya mengingatkannya bahwa dia sudah cukup tua untuk membangun keluarga.

“Kau toh tidak dapat terus-menerus larut dalam kesedihan masa lampaumu, Har. Bagaimanapun hidup akan harus kaujalani terus.” Harimurti mendesah dalam hati. Orang tua yang selalu baik hati. Bagaimanapun ucapanmu itu sudah merupakan klise yang berulang kali, beribu kali diucapkan oleh beribu orang tua di seluruh muka bumi, aku tetap akan menerimanya tanpa rasa

bosan dan jengkel. Karena saya tahu tidak terlalu banyak persediaan harapan yang tersisa bagi anak tunggalmu ini pada hari-hari kalian sudah semakin menipis ini. Pada suatu ketika, sekian tahun yang lalu, tahun-tahun prahara itu, kalian sudah hampir memiliki anak menantu, bahkan juga cucu kembar yang dalam sekali merenggut telah dijemput maut di dalam penjara. Kalian menghiburku untuk selalu tawakal dan pasrah kepada Gusti Allah, untuk menerima semua cobaan itu. Dan saya menerima kesabaran dan kasih sayang kalian, bersama Lantip, menjalani tahun-tahun pendewasaan kami. Lantip, anak pungut kalian yang nyaris sempurna kebaikan hatinya, melewatkan tahun-tahun nyaris mulus tanpa suatu gejolak yang berarti hingga sempat ber-keluarga dengan Halimah, bunga Pariaman bagi keluarga kita yang ikut menyiram kegembiraan dan kebahagiaan di hari-hari tuamu.

Sedangkan aku, hanya mendatar tanpa tanjakan-tanjakan yang berarti, meskipun bukannya tanpa bersyukur dapat mencapai kedudukanku dalam perusahaan penerbit ini, berkat koneksi mitra usaha Tommi yang memiliki seorang paman, Maryanto, purnawirawan brigjen yang berusaha dalam dunia penerbitan. Oh, saya tidak mengeluh tentang perjalanan hidup yang saya jalani. Bahkan, boleh dibilang saya cukup mensyukuri nasibku. Hidup adalah satu mangkuk penuh dengan macam-macam buah cherry. Ada yang manis, ada yang kecut, ada yang hampir busuk. Maka kita akan selalu untung-untungan dalam mencopot buah cherry itu. Begitu kata orang di Amerika sana life is but a bowl of cherries…Pokoknya, aku boleh dibilang okelah…

“Begini, Hari. Kamu masih ingat Suli, kan?”

“Suli yang mana, Bu?”

“Kok Suli yang mana! Suli kita ya Cuma satu. Itu, lho. Sulistianingsih, putri  tunggal Tante Nunung, sepupu Ibu.”

“Yang mana sih, Bu?”

“Kamu itu memang payah kok, Hari. Tidak pernah kenal keluarga kita. Keluarga itu kan penting. Kalau ada apa-apa kan keluarga kita juga, to yang mintai tolong. Kami, kamu, kan pernah mengalami itu semua. Maka itu selalu diusahakan, to, ingat keluarga.”

“Ya sudah, Terus bagaimana dengan Mbak atau Dik atau, bahkan, Tante Suli itu?”

“Nah, kamu kan mau main potong saja, kan?”

“Hari, mbok kamu yang sabar mendengarkan cerita ibumu.”

“Ya, Pak”

“Begini lho, anakku lanang yang bagus. Kamu itu sebentar lagi akan empat puluh tahun, to?”

“Lha iya, Bu. Terus bagaimana?”

Ini lho, Suli yang sesungguhnya abu-nya lebih tua dari kamu, tapi umurnya kira-kira lima tahun lebih muda dari kamu. Anaknya cantik, sedep, dan cerdas, terpelajar, wong tamat IKIP.”

“Lantas?”

“Kok lantas? Ya, bapakmu dan ibumu ini sudah sepakat kalau kamu ya dijodohkan dengan Suli.”

“Kok Bapak dan Ibu enak saja mau menjodohkan Suli sama sayya. Apa anaknya sudah ditanya?”

“Heh, heh, heh. Yang penting itu kamu bersedia kawin apa tidak? Ini lho fotonya!”

Harimurti mengamati foto yang diberikan ibunya. Dilihatnya ada gambar seorang perempuan muda yang bermata besar dan cerdas sedang tersenyum lebar. “Boleh juga,” gumam Harimurti.

“Benerannya hitam atau kuning langsat, Bu?”  Hardoyo, bapak Harimurti, tertawa.

“Heh, heh, heh. Ternyata kamu rasis juga. Menganggap warna kulit penting juga”

“Lho, saya dengar Suli punya sedikit darah Cina di tubuhnya. Embah putrinya atau apanya itu dikabarkan pernah jadi simpanan babah kaya?

Hardoyo dan istrinya dengan wajah sangat terkejut saling memandang muka masing-masing. Harimurti dengan tenang melontarkan kata-katanya itu. Hardoyo memandang putranya dengan wajah sedikit tegang.

“Dari mana kau dengar cerita itu. Rupanya kamu sudah lama dengar kabar bohong, bahkan fitnah tentang keluarga sepupu ibumu, ya? Jangan sekali-kali kamu percaya kabar bohong itu.”

“Kenapa kau buka pengetahuanmu tentang Suli pada hari ini, pada waktu bapak dan ibumu mau menjodohkan kamu dengan Suli, he?

Sekarang Harimurti menyesali dirinya karena sudah terlalu enteng berbicara dengan calon jodohnya itu. Dengan cepat dirangkul dan dicium ibunya dan mohon maaf atas kata-katanya yang telah merisaukan bapak dan ibunya itu.

Setelah kalian menyimak pembacaan kutipan novel di atas, jawablah pertanyaan di bawah ini:

  1. Sebutkan siapa saja pelaku  cerita di atas?
  2. Menurut gaya bahasa ceritanya, termasuk orang manakah tokoh-tokoh dalam cerita tersebut?
  3. Tentukan ungkapan dalam cerita tersebut yang tergolong makna konotatif
  4. Menurut pendapatmu apa tema cerita tersebut di atas?
  5. Tentukan seting penceritaannya dalam kutipan di atas?

 

Perbedaan antara Novel dengan Cerpen

Novel dan cerpen termasuk jenis karya sastra berbentuk prosa. Namun, antara novel dengan cerpen memiliki karakteristik yang berbeda. Cerpen memuat kisah/peristiwa sesaat. Alur cerpen tidak terlihat dengan jelas.  Pengaluran (ending) cerita pada cerpen tidak diketahui arah nasib tokohnya. Sedangkah novel sudah mengarahkan (ending) nasib tokohnya (sed ending/happy ending).

Simaklah dengan seksama cerpen berikut ini!

 

Perhatikan Cuplikan Cerpen Berikut!

 

PERADILAN RAKYAT

(Karya Putu Wijaya)

 

Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.

“Tapi aku datang tidak sebagai putramu,” kata pengacara muda itu. “Aku datang kemari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakan keadilan di negeri yang sedang kacau balau ini.”

Pengacara tua, yang berjambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.

“Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?”

Pengacara muda tertegun. “Ayahanda bertanya kepadaku?”

“Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini.”

Pengacara muda itu tersenyum.

“Baik, kalau begitu. Anda mengerti maksudku.”

“Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau perlu kurang ajar.  Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti para elit dan cendikiawan yang cermelang ketika masih di luar kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya. Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda. Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah kampus di luar negeri, buka? Mereka menyebutku Singa Lapar.  Aku memang tak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang keadilan yang bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kami bisa banyak belajar dari buku itu.”

Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih terasa.

“Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri.”

Pengacara tua itu meringis.

“Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara sungguh-sungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan.”

“Itu semua tidak terlepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal ampun!”

Pengacara tua itu tertawa.

“Kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu!” Potong pengacara tua. Pengacara muda terkejut. Ia tersandar pada kekeliruannya lalu minta maaf.

 

“Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan,” sambung pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati pula juga pujian itu, “jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini.”

Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih tenang.

“Aku datang kemari ingin mendengar suaramu. Aku mau berdialog.”

“Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya.”

“Terima kasih. Begini. Belum lama ini Negara menugaskan aku untuk membela seorang penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati. Pihak keluarga pun datang dengan gembira ke rumahku untuk mengungkapkan kebahagiaanya, bahwa pada akhirnya Negara cukup adil, karena memberikan seorang pembela kelas satu untuk mereka. Tetapi aku tolak mentah-mentah. Kenapa? Kerena aku yakin, Negara tidak benar-benar menugaskan aku untuk membelanya. Negara hanya ingin mempertunjukkan sebuah teater spektakuler, bahwa di negeri yang sangat tercela hukumnya ini, sudah ada kebangkitan baru. Penjahat yang paling kejam, sudah diberikan seorang pembela yang perkasa seperti Mike Tyson, itu bukan istilahku, aku pinjam dari apa yang diobral para pengamat keadilan di Koran untuk semua sepak-terjangku, sebab aku selalu berhasil memenangkan semua perkara yang aku tangani.

Aku ingin berkata tidak kepada Negara, karena pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau perlu dingin dan beku. Tapi Negara terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas ini kami terima. Di situ aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, kesimpulanku, Negara sudah memainkan sandiwara. Negara ingin menunjukan kepada rakyat dan dunia, bahwa kejahatan  dibela oleh siapa pun, tetap kejahatan. Bila Negara tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke titik terakhirnya hukuman tembak mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela seperti aku, maka Negara akan mendapatkan kemenangan ganda, karena kemenangan itu pastilah kemenangan yang telak dan bersih, karena aku yang menjadi jaminannya. Negara hendak menjadikan aku sebagai pecundang. Dan itulah yang aku tentang.

            Negara harusnya percaya bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain harus dengan keadilan yang bersih, sebagaimana yang sudah Anda lakukan selama ini.”

            Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan waktu pengacara senior itu menyimak. Kemudian ia melanjutkan.

            “Tapi aku datang kemari bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah keputusanku untuk menolak itu tepat atau tidak. Aku datang kemari karena setelah negara menerima baik penolakanku, bajingan itu sendiri datang ke tempat kediamanku dan meminta dengan hormat supaya aku bersedia membelanya.”

            “Lalu kau terima?” potong pengacara tua itu tiba-tiba. Pengacara muda itu terkejut. Ia menatap pengacara tua itu dengan heran.

            “Bagaimana Anda tahu?”

            Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke tempat yang jauh. Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak ribuan kilometer. Sambil menghela napas kemudian ia berkata: “Sebab aku kenal siapa kamu.”

Pengacara muda sekarang menarik napas panjang.

            “Ya aku menerimanya, sebab aku seorang professional. Sebagai seorang pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang membutuhkan keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya.”

            Pengacara tua mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.

            “Jadi itu yang ingin kamu tanyakan?”

            “Antara lain.”

            “Kalau begitu kau sudah mendapatkan jawabanku.”

            Pangacara muda tertegun. Ia menatap, mencoba mengetahui apa yang ada di dalam lubuk hati orang tua itu.

            “Jadi langkahku sudah benar?”

            Orang tua itu kembali mengelus jantungnya.

            “Jangan dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya ada usaha pengejaran pada kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana yang kau kejar dalam profesimu sebagai  ahli hukum, tetapi di situ sudah ada tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran yang sama dari seorang penjahat,  malah kau terima baik, tak peduli orang itu orang yang pantas ditembak mati, karena sebagai profesional kau tak bisa menolak mereka yang minta tolong agar kamu membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan keadilan yang paling tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan uang! Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?”

            “Tidak! Sama sekali tidak!”

            “Bukan juga karena uang?!”

            “Bukan!”

            “Lalu karena apa?”

            Pengacara muda itu tersenyum.

            “Karena aku akan membelanya.”

            “Supaya dia menang?”

            “Tidak ada kemenangan di dalam  pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai. Kalah-menang bukan masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling penting. Demi memuliakan proses itulah, aku menerimanya sebagai klienku.”

            Pengacara tua termenung.

            “Apa jawabanku salah?”

            Orang tua itu menggeleng.

            “Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan. Hanya ada kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akan berhasil keluar sebagai pemenang.”

            “Jangan meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh negara. Aku dengar sebuah tim yang sangat tangguh akan diturunkan.”

            “Tapi kamu akan menang.”

            “Perkaranya saja belum mulai, bagaimana bisa tahu aku akan menang.”

            “Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara. Keputusan sudah bisa dibaca walaupun  sidang belum mulai. Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena soal-soal sampingan. Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini.”

Pengacara muda itu tertawa kecil.

“Itu pujian atau peringatan?”
“Pujian.”

“Asal Anda jujur saja.”

“Aku jujur.”

“Betul?”
“Betul!”

Pengacara muda itu tersenyum dan manggut-manggut. Yang tua memicingkan matanya dan mulai menembak lagi.

“Tapi kamu menerima membela penjahat itu, bukan karena takut, bukan?”

“Bukan! Kenapa mesti takut?!”

“Mereka tidak mengancam kamu?”
“Mengancam bagaimana?”

“Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman. Dia tidak memberikan angka-angka?”

“Tidak.”

Pengacara tua itu terkejut.

“Sama sekali tak dibicarakan berapa mereka akan membayarmu?”
“Tidak.”

“Wah! Itu tidak professional!”
Pengacara muda itu tertawa.

“Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan orang!”

“Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?”

Pengacara muda itu terdiam.

“Bagaimana kalau dia sampai menang?”

“Negara akan mendapat pelajaran penting. Jangan main-main dengan kejahatan!”

“Jadi kamu akan memenangkan perkara itu?”

Pengacara muda itu tak menjawab.

“Berarti, ya!”

“Ya. Aku akan memenangkannya dan aku akan menang!”
orang tua itu terkejut. Ia merebahkan tubuhnya bersandar. Kedua tangannya mengurut dada. Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia mengangkat tangannya.

“Tak usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena takut, bukan karena kamu disogok.”

“Betul. Ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak takut.”

“Dan kamu menerima tanpa harapan akan mendapatkan balas jasa atau perlindungan balik kelak kalau kamu perlukan, juga bukan karena kamu ingin memburu publikasi dan bintang-bintang penghargaan dari organisasi kemanusiaan di mancanegara yang benci negaramu, bukan?”

“Betul.”

“Kalau begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang. Keputusanmu sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai tuduhan, seakan-akan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari pengejaran keadilan dan kebenaran. Tetapi semua rong-rongan itu hanya akan menambah pujian

 untukmu kelak, kalau kamu mampu terus mendengarkan suara hati nuranimu sebagai penegak hukum yang profesional.”

Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua tidak memberikan kesempatan.

“Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu pulang sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat rindu kepada dia.”

Pengacara muda itu jadi sangat terharu. Ia berdiri hendak memeluk ayahnya. Tetapi orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan suara yang serak. Nampaknya sudah lelah dan kesakitan.

“Pulanglah sekarang. Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional.”

“Tapi ...”

Pengacara tua itu menutup matanya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya. Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara muda.

“Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat. Selamat malam”

Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata yang sangat indah itu, pengacara muda itu tak mampu lagi menolak. Ia memandang sekali lagi orang tua itu dengan segala hormat dan cintanya. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu, agar suaranya jangan sampai membangunkan orang tua itu dan berbisik.

“Katakan kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan oleh negara terlalu sedikit dan lemah.  Peradilan ini terlalu tergesa-gesa.  Aku akan memenangkan perkara ini dan itu berarti akan membebaskan bajingan yang ditakuti dan dikutuk oleh seluruh rakyat di negeri ini untuk terbang lepas. Dan semoga itu akan membuat negeri kita ini menjadi lebih dewasa secepatnya.  Kalau tidak, kita akan menjadi bangsa yang lalai.”

            Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan. Dengan gemilang dan mudah ia mempecundangi Negara di pengadilan dan memerdekakan kembali raja penjahat itu. Bangsa itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemengannya dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat pun marah. 

Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa, dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan jendak menggulingkan pemerintahan yang sah.

            Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya membacakan berita-berita keganasan yang merebak di seluruh wilayah Negara dengan suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu.

            “Setelah kau datang sebagai pengacara muda yang gemilang dan meminta aku berbicara sebagai sebagai professional, anakku,” rintihnya dengan amat sedih, “Aku terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang putra. Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu putraku. Lupakah kamu bahwa putra dari ayahmu. Tak inginkah kau mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan dengan sebuah perkara, di mana seorang penjahat besar yang terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat seperti bencana yang melanda negeri kita sekarang ini?”

 

Pertanyaan :

1.         Jelaskan tema kisah di atas

2.         Sebutkan latar yang digunakan dalam penceritaan di atas

3.         Jelaskan pesan yang hendak disampaikan pengarang kepada pembacanya

4.         Sebutkan tokoh utama dan tokoh pembantu, serta jelaskan penokohan masing-masing

5.         Bagaimana sudut pandang yang digunakan oleh pengarang, menurut pendapatmu!

6.         Jelaskan pengaluran cerita tersebut!

 

JENIS-JENIS PROSA

 

Prosa dapat dibedakan sebagai prosa fiksi (Rekaan), dan prosa nonfiksi (Fakta, Ilmiah). Prosa Fiksi, suatu karya atau karangan hasil dari imajinasi pengarangnya. Yang tergolong prosa fiksi antara lain : (cerpen, novel, dongeng, roman dan sebagainya).  Prosa nonfiksi suatu karangan yang berisi fakta atau pendapat yang logis sebagai hasil kajian/pengamatan terhadap suatu objek.

Jenis prosa fiksi tergolong karangan narasi fiksi (narasi sugestif), sedangkan prosa nonfiksi, termasuk jenis k karangan narasi faktual (espositoris).

 

Yang tergolong prosa nonfiksi, antara lain:

·           Esai; ulasan/kupasan suatu masalah secara sepintas-lalu saja berdasarkan pandangan pribadi penulisnya. Isinya bisa berupa hikmah hidup, tanggapan, renungan, atau komentar tentang budaya, seni, fenomena social, politik, pementasan drama, film dan sebagainya, menurut selera pribadi penulisnya, sehingga bersifat subjektif/pribadi.

 

·      Resensi; pembicaraan/pertimbangan/ulasan/penilaian suatu karya yang berbentuk (buku, film, drama, novel, cerpen dan sebagainya). Isinya bersifat pemaparan agar pembaca dapat mengetahui karya tersebut (yang dinilai) dari beberapa aspek, seperti: tema, alur, perwatakan, dialog, seting, atau bahkan kepengarangannya. Sering juga disertai penilaian baik buruknya buku/karya itu sehingga perlu-tidaknya karya itu untuk dibaca.

 

·      Kritik; karya yang menguraikan pertimbangan baik-buruknya suatu hasil karya dengan member alasan-alasan tentang isi dan bentuk karya tersebut dengan criteria tertentu, bersifat objektif dan menghakimi.

·      Biografi; karya yang berisi riwayat hidup/kehidupan orang lain/seseorang

·      Otobiografi; karya yang berisi riwayat hidup/kehidupan diri sendiri pengarang/penulisnya.

 

 Prosa dapat  digolongka menjadi Prosa Lama dan Prosa Baru

 

Ciri-ciri prosa lama :

1)      Isi ceirtanya cenderung khayalan belaka

2)      Prosa lama bersifat anonim (tanpa/tidak jelas siapa pengarangnya), cerita ini tenar/dikenal masyarakat dari mulut-ke mulut

3)      Ceritanya menjadi milik bersama, ceritanya dianut/diyakini oleh sekelompok masyarakat

4)      Istana sentries, biasanya ceritanya fokus para raja atau kerajaan

5)      Beredar dari mulut-kemulut (tidak tertulis)

 

Ciri-ciri Prosa Baru :

1)      Masyarakat sentries; ceritanya mengisahkan kehidupan yang terjadi dalam masyarakat pada umumnya

2)      Pengarangnya jelas (hak ceritanya dimiliki oleh penulis)

3)      Ceritanya, pada umumnya mencerminkan pribadi pengarangnya

4)      Bentuknya konkrit (tertulis)

5)      Bersifat dinamis, sesuai dengan perkembangan kehidupan masyarakat

 

Seperti telah dijelaskan di atas, pada dasarnya suatu penciptaan karya sastra bentuk prosa dibangun oleh dua unsur utama, yakni unsur instrinsik (internal), dan unsur ekstrinsik (eksternal).

 

Unsur Instrinsik adalah, unsur sastra yang mempengaruhi terciptanya karya sastra atau membangun karya sastra itu dari dalam. Unsur instrinsik tersebut antara lain; tema, tokoh, penokohan, alur (plot), latar (seting), amanat, sudut pandang (point of view) dan sebagainya.  Sedangkan unsure Ekstrinsik adalah unsur-unsur yang membangun suatu karya sastra itu dari luar. Yang termasuk unsur ekstrinsik, antara lain, latar belakang kehidupan pengarang, pandangan hidup pengarang, situasi sosial, politik, budaya, agama, pendidikan yang melatari lahirnya karya sastra tersebut.

 

1)      Unsur Instrinsik Prosa (cerpen, novel, dan roman)

a.       Tema (Tema adalah pokok persoalan yang diangkat sebagai bingkai cerita.) Dalam karya-karya yang tebal seperti novel dan roman, di samping terdapat tema sentral, juga terdapat sub-subtema atau sub-subpersoalan yang terjalin sedemikian rupa sehingga membentuk tema yang lebih besar lagi.

b.       Amanat /pesan/nasinat (Pesan/amat terdapat pada setiap penceritaan/peristiwa. Amanat adalah pesan yang hendak disampaikan penulis/pengarang kepada pembaca) Amanat biasanya nasihat yang bernilai didik/baik yang perlu diteladani. Amanat dalam suatu karya dapat diungkapkan dengan cara eksplisit, dan dapat pula dengan cara implisit.

c.       Latar (setting). Adalah gambaran tempat, waktu, dan suasana, serta keadaan social, budaya, ekonomi, politik dan sebagainya terjadinya peristiwa-peristiwa dalam cerita.  Di mana, kapan, dalam keadaan bagaimana, yang digunakan sebagai pijakan bagi berlangsungnya suatu kisah/peristiwa.

d.       Tokoh dan penokohan/perwatakan,

Dalam cerita selalu ada tokoh/pelaku yang dikisahkan, apakah si pengarang sendiri, atau orang lain, bahkan ada juga tokoh berasal dari binatang, benda, boneka dan sebagainya. Pelaku-pelaku atau tokoh dalam cerita pada umumnya ditampilkan dengan ciri karakter/watak khas untuk mendukung jalannya alur penceritaan hingga membentuk suatu konflik yang alamiah (tidak dibuat-buat)

Strategi pengarang untuk menampilkan watak tokoh secara garis besar ada dua cara, yaitu :

·    Secara analitis; pengarang secara langsung mendiskripsikan atau menceritakan watak pelaku/tokohnya

·   Secara dramatis; penulis menggambarkan watak pelaku secara tidak langsung melalui dialog, atau reaksi pelaku lain terhadapnya.

Tokoh dalam cerita dibedakan menjadi empat, yaitu : tokoh utama (temperamen baik) disebut tokoh Protogonis. Kedua; tokoh yang melawan/menentang peran tokoh utama, disebut tokoh Antagonis. Ketiga, tokoh pelerai (tritagonis), dan keempat tokoh bawahan.(tokoh figuran)

e.       Alur atau Plot; (yaitu jalinan peristiwa yang sambung-menyambung hingga membentuk kisah atau jalan cerita).

Setiap cerita memiliki pola plot, sebagai berikut :

·   Perkenalan keadaan

·   Pertikaian/konflik mulai terjadi

·   Konflik berkembang semakin rumit (perumitan)

·   Klimaks

·   Peleraian/solusi/penyelesaian

Ditinjau dari hubungan antar peristiwa dalam alur penceritaannya, maka plot dibedakan menjadi dua, yaitu:

·   Alur erat/rapat; yaitu apabila hubungan antar peristiwa dalam cerita memiliki hubungan yang padu dan padat sehingga tak ada satu peristiwa pun yang dapat dihilangkan. 

·   Alur longgar/renggang; yaitu : apabila hubungan antarperistiwa dalam cerita terjalin kurang erat sehingga ada bagian-bagian peristiwa yang dapat dihilangkan dan penghilangannya itu tidak akan mengganggu jalannya cerita.

Pembentukan alur dalam cerita dapat dilakukan dengan cara analitis, (pengisahan langsung) dan dapat juga secara dramatis melalui dialog dan adegan peristiwa, hingga terbentuklah suatu alur penceritaan.

Alur juga dibentuk dengan urutan peristiwa secara alamiah sehingga membentuk alur maju, dan dapat juga dengan sorot balik (flash back), atau bahkan dengan campuran yaitu alur maju dan sorot balik 

Dalam cerita yang panjang (misalnya Novel) di samping terdapat alur utama, sering terdapat alur-alur cabang, yang disebut digresi. 

f.        Sudut Pandang (point of view), disebut juga pusat pengisahan. Sudut pandang adalah posisi/peran  pencerita/pengarangnya  dalam menyampaikan ceritanya. Dengan kata lain, sudut pandang menyangkut cara pengarang memposisikan/menempatkan diri atau posisinya dalam melibatkan diri dalam penceritaan.  Apakah pengarang dalam karya ceritanya itu melibatkan diri secara langsung atau hanya sebagai pengamat yang berdiri di luar penceritaan itu

Sudut pandang dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu :

·   Sudut pandang orang pertama

Biasanya dalam penceritaannya tokoh jalan ceritanya dikuasi oleh si pengarangnya dengan sebutan “saya”, “aku” atau nama pengarang langsung mmenjadi tokoh sentral dalam penceritaannya.

·   Sudut pancang orang ketiga

Biasa seorang pengarang memilih salah satu nama untuk menjalankan alur penceritaannya, maka biasanya tokoh dipanggil dengan nama selain nama tokoh  aku, saya, dan sebagainya, tetapi lebih memilih nama “dia” atau nama lain yang menjadi panggilan bagi pengarang.

·   Sudut pandang orang ketiga serba tahu

Sudut pandang ini, pengarang mengetahui seluruh tingkah-laku, pikiran, isi hati maupun apa yang dirasakan oleh para tokoh dalam cerita itu.

 

2)      Unsur Ekstrinsik

 

Unsur ekstrinsik, prosa berarti unsur yang membangun/pembentuk prosa tersebut dari luar atau lingkungan luar yang mendukung terjadinya suatu cerita. Unsur luar tersebut bisa bermacam-macam, misalnya : biografi pengarangnya, kondisi sosial-budaya, kondisi politik, agama, moral, filsafat yang ada pada lingkungan pengarang saat menuliskan cerita tersebut. Nilai-nilai yang terkandung dalam cerita pada umumnya ditentukan melalui unsur-unsur ekstrinsik tersebut. Bisa jadi suatu novel bertema sama, namun belum tentu nilai-nilai yang terkandung di dalamnya itu sama. Hal itu tergantung pada unsure ekstrinsik yang ditonjolkan dalam alur ceritanya. Misalnya, dua novel yang sama-sama bertemakan ‘cinta’,  namun kedua novel tersebut menonjolkan nilai-nilai yang terkandung secara berbeda, perbedaan tersebut dikarenakan oleh penulis/pengarang yang mempunyai pemahaman dan penghayatan yang berbeda tentang ‘cinta’, situasi social, agama, dan latar belakang pengarang yang berbeda dalam memandang suatu persoalan.

 

 

  1. MENGANALISIS PROSA

 

Karya yang berbentuk, cerpen, novel, roman, termasuk jenis karya sastra prosa. Prosa dikatakan baik, jika memenuhi beberapa persyaratan antara lain, unsur instriksi dan ekstrinsik, mengandung nilai dan dikemukakan dengan bahasa yang indah. Nilai-nilai yang terkandung di dalam karya sastra antara lain nilai moral, agama, social, budaya, dan sebagainya.

Walaupun merupakan cerita rekaan, prosa tetap memiliki kebenaran (kebenaran imajinatif), karena karya prosa ditulis berdasarkan logika, pengalaman, dan pengamatan sang pujangga/pengarang. Oleh karena itu, cerita rekaan tidak jauh dari kenyataan (realistis).

 


Bentuk-bentuk prosa tersebut :

    1. Cerpen

Cerpen merupakan singkatan dari cerita pendek. Namun perlu diketahui, bahwa tidak setiap cerita yang pendek itu termasuk cerpen.

Karakteristik/ciri-ciri cerpen adalah :  ^ ceritanya melukiskan suatu insiden yang unik, yang tidak terjadi di tempat lain, waktu lain, dan dengan orang lain, dan tidak dapat diulang. ^ Cerpen berisi hal-hal yang tidak rutin terjadi setiap hari, misalnya : tentang suatu perkenalan, jatuh cinta, atau suatu hal yang sulit untuk dilupakan. ^ Bersifat imajinatif.

    1. Novel

Novel berasal dari bahasa Italia, ‘novella.’

Novel juga seperti halnya cerita pada cerpen, namun pada novel biasanya diakhiri dengan perubahan nasib (ending) pelakunya.

Akhir cerita nasib pelakunya bahagia disebut ‘heppyending’

Sebaliknya jika cerita diakhiri nasib pelakunya tidak bahagia/sengsara disebut ‘sedending’.

    1. Roman

Istilah roman berasal dari bahasa Perancis.  Roman mengisahkan kehidupan pelaku dari lahir sampai meninggal. Roman lebih panjang daripada novel.

Setelah Anda mengenal sekilas tentang unsur-unsur instrinsik prosa, marilah berlatih menganalisis, penggalan cerita di bawah ini.


Kini aku, si kaleng bekas, sudah diselamatkan oleh umat-Nya yang tak pernah putus asa, terpajang di lemari kaca, menunggu jika ada tangan-tangan lain yang ingin merangkulku. Tempatku yang sekarang jauh lebih nyaman daripada ketika aku di depan Masjid Raya atau di rumah kardus sang manusia penyelamatku.

(senyumku dan senyumnya, Arif Mulizar)

 

BERIKAN ANALISIS UNSUR INSTRINSIK PENGGALAN CERITA TERSEBUT, YANG MENEKANKAN ADANYA TAHAPAN ALUR.

 

2)       

Pagi hari, di depan rumah sambil baca Koran, terasa sepi juga. Tak ada patukan-patukan pada jemari kaki dan ujung kainku. Tak ada binatang yang mengitari sekitar tempat dudukku sambil jeprat-jepret mengeluarkan bunyinya. Tiba-tiba aku merasa bunyi jeprat-jepret itu sama indahnya dengar music arvant-garde karya para pemusik teman-temanku.

Seekor cecak jatuh dari tembok, diam sesaat di lantai seakan menatapku, kemudian lari.

“Santi, bagaimana kalau aku piara buaya saja,” teriaku pada istri di dapur. “Piara saja anak kau baik-baik. Sudah itu boleh piara gajah atau singa,” katanya.

(Sutardji Calzoum B, Hujan Menulis Ayam)

BERIKAN ANALISIS UNSUR INSTRINSIK PENGGALAN CERITA TERSEBUT, YANG MENEKANKAN ADANYA PESAN/AMANAT PENULIS

 

3)       

Tini lagi berbaring di sofa membaca buku. Kedua belah tangannya memegang buku itu ke atas, supaya terang kena cahaya lampu dari belakangnya. Kepalanya berbantalkan tiga buah bantal sofa, supaya tinggi, badannya seolah-olah setengah bersandarkan benda itu. Biasanya dia sudah tidur atau sudah berbaring di tempat tidur, seolah-olah sudah nyenyak, tetapi dia sebenarnya menunggu-nunggu Kartono pulang. Sepeninggal Nyonya Rusdio tadi dia mengganti pakaiannya menggunakan kimono, lalu berbaring di sofa, kedua belah tangannya bersilang di bawah kepalanya, matanya menengadah memandangi loteng.

(Belenggu, Armyn Pane)

BERIKAN ANALISIS UNSUR INSTRINSIK PENGGALAN CERITA TERSEBUT, YANG MENEKANKAN ADANYA SETTING DALAM BERPIJAKNYA SUATU CERITA

Perempuan bernama Yusin itu duduk selonjor di bangku kayu di samping gubugnya, menunggu. Di pangkuannya, bocah berkulit kusam adalah anaknya, pulas tidur. Yusin mengelus rambut dan memandangi wajah bocah usia delapan tahun ini, terbenak hari-hari puluhan tahun hidupnya di perkampungan belakang pasar sayur.

Malam dingin dan gelap. Cahaya yang menyelinap dari sela-sela gubug yang berdiri tak beraturan itu tak sanggup menembus pekat asap pembakaran sampah yang habis tersiram hujan dan becek. Air menggenang di mana-mana. Parit kecil yang berkelok di samping gang sempit menebarkan aroma sayur busuk. Kaleng bekas menumpuk berbaur dengan serpihan kardus dan sampah plastik.

 

BERIKAN ANALISIS UNSUR INSTRINSIK PENGGALAN CERITA TERSEBUT, YANG MENEKANKAN ADANYA SETTING/LATAR SUASANA DALAM BERPIJAKNYA SUATU CERITA

Hujan datang lagi. Menghanyutkan jejak-jejak kenangan. Kulihat televise, katanya “ Banjir mengepung Ibu kota.” Kulihat Koran, katanya “Air Bah lumpuhkan Jakarta.” Aku meneguk segelas teh  panas. Melakoni lagi hidup ini, sebagai penyaksi antara yang hidup penuh sensasi-ilusi. 

BERIKAN ANALISIS UNSUR INSTRINSIK PENGGALAN CERITA TERSEBUT, YANG MENEKANKAN ADANYA UNSUR TEMA

Awalnya, aku hanya berniat menumpang tinggal barang satu-dua minggu di kantor Randai, sambil mencari tempat kos sendiri. Namun, sudah sebulan aku tidak kunjung mendapatkan tempat kos. Bukan tidak karena tidak ada lagi kamar kos yang tersisa di Bandung, tetapi karena dana yang aku anggarkan terlalu kecil. Jadi, sampai kini aku masih sekamar dengan Randai. Padahal di kamar ini hanya ada satu kasur yang tidak muat untuk berdua. Karena berhemat, maka membeli kasur dan bantal bukan prioritasku. Jadi, aku hanya menumpangkan kepala di ujung kasur sebagai bantal, menggelar sajadah sebagai alas tidur dan berkelumun kain sarung.

(A.  Fuadi, Ranah 3 Warna). 

BERIKAN ANALISIS UNSUR INSTRINSIK PENGGALAN CERITA TERSEBUT, YANG MENEKANKAN ADANYA UNSUR PENOKOHAN

Sebagai ulasan kembali, kini disajikan perbedaan antara cerpen dan novel, seperti di sebutkan di atas tadi

Ciri-ciri karya cerpen :

1.       Jumlah kata tidak lebih dari 10.000 kata ( 2 – 20 halaman)

2.       Bentuk cerita lebih pendek daripada novel

3.       Isi cerita tentang kehidupan sehari-hari

4.       Tidak menggambarkan semua kisah pelakunya

5.       Tokoh-tokoh yang dilukiskan mengalami masalah/konflik hingga pada penyelesaian

6.       Menggunakan kata-kata sederhana, ekonomis, singkat, sehingga mudah dipahami

7.       Hanya terdiri dari satu kejadian/peristiwa sehingga cenderung alur tunggal

8.       Penokohan yang digunakan sangat sederhana

 

Ciri-ciri Novel :

1.       Jumlah kata lebih dari 35.000 kata

2.       Memerlukan waktu membaca lebih dari 2 jam

3.       Sekurang-kurangnya 100 halaman

4.       Novel bergantung pada pelaku, dan mungkin lebih dari satu pelaku

5.       Novel menyajikan lebih dari satu impresi, efek, dan emosi.

6.       Novel berskala luas, tidak seperti cerpen yang ruang lingkupnya lebih sempit

7.       Unsure kepadatan dan intensitas dalam novel kurang diutamakan

 

Unsur Instrinsi Cerpen dan Novel

1.       Tema

2.       Amanat

3.       Latar/setting

4.       Alur/plot

5.       Sudut pandang

 

Unsur Ekstrinsik karya sastra puisi/cerpen/novel

 

Yaitu nilai-nilai dalam isi puisi/cerita yang menyangkut latar belakang/jalan pikiran pengarangnya, dan situasi social ketika cerita/puisi itu diciptakan.

Nilai-nilai yang pada umumnya terdapat dalam isi karya sastra tersebut antara lain :

1.       Nilai agama      : nilai-nilai yang terkandung di dalam karya yang berkaitan dengan nilai keagamaan

2.       Nilai sosial       : nilai yang dapat disunting dari lingkungan, dan masyarakat sekitar.

3.       Nilai moral       : nilai yang dapat dipetik dari sifat/akhlak/etika yang berlaku dalam masyarakat

4.       Nilai budaya     : nilai yang berkaitan dengan kebiasaan, tradisi, adat-istiadat yang berlaku.

 

Struktur Teks Cerita :

1.       Abstrak : ringkasan atau inti cerita yang akan dikembangkan menjadi rangkaian peristiwa/gambaran awal cerita.

2.       Orientasi : bagian teks cerita yang berisi pengenalan tokoh dan latar dalam cerita. Pengenalan tokoh berkaitan dengan peran pelaku utama cerita, sedangkan pengenalan latar berkaitan dengan waktu, tempat, sauna, ruang terjadinya peristiwa.

3.       Komplikasi : bagian alur dalam kejadian/peristiwa pada cerita . Tahapan komplikasi dimulai adanya munculnya konplik, lalu meningkatnya suatu konplik hingga konplik  mencapai puncaknya (klimaks).

4.       Evaluasi : bagian cerita yang ditandai adanya konflik yang diarahkan pada tahap pemecahannya.

5.       Resolusi : pada bagian ini konflik sudah mulai terpecahkan atau menemukan jalan penyelesaiannya.  (tahap memberikan solusi-solusi)

6.       Koda : bagian akhir cerita, pengarang sudah mulai membrikan pesan moral sebagai tanggapan terhadap konflik yang terjadi. Koda merupakan nilai-nilai atau pelajaran yang dapat dipetik oleh pembaca teks tersebut.

 

BIOGRAFI

 

Struktur Teks Biografi

1.       Orientasi : bagian biografi yang menjelaskan pengenalan tokoh. Berisi gambar awal tentang tokoh yang diceritakan.

2.       Peristiwa dan Masalah : menyangkut suatu peristiwa/masalah yang pernah dialami dan peristiwan yang pernah dihadapi dalam emncapai suatu tujuan serta cita-cita tokoh. Hal-hal yang menarik, mengagumkan, mengesankan dan mengaharukan yang pernah dialami oleh tokoh.

3.       Reorientasi : bagian penutup. Mengenai pandangan penulis terhadap tokohnya.

 

Biografi merupakan karangan tentang perjalanan hidup orang lain/tokoh tentang ketenarannya, mulai dari lahir hingga meraih prestasi dan karya-karyanya sampai dengan akhir hidupnya

 

Jika yang ditulis dalam karyanya itu tentang perjalanan dan pengalaman hidup pengarangnya sendiri, maka disebut otobiografi.

 

Jadi Biografi menyangkut perjarlanan hidup orang lain, sedangkan Autobiografi, karangan yang menerangkan tentang perjalanan hidup diri sendiri penulisnya itu

 

 Pada umumnya, sebagai cirri karangan Autobiografi, menggunakan nama dirinya sendiri atau kata ganti –ku, -aku, saya, -kami, dan sejenisnya.

 

Memahami Teks Seni Berbahasa

 

Untuk memahami suatu karya dengan baik, kadang-kadang dibutuhkan pengenalan terhadap faktor-faktor ekstrinsik, seperti latar belakang kehiduppan penciptanya/pengarangnya, (misalnya, pendidikannya, pengalamannya, agamanya, haluan politiknya, ideologinya, pandangan hidupnya dan lain-lain).  Di samping itu juga dipengaruhi oleh keadaan social-ekonomi-budaya-politik, dan pada zaman/masa penciptaannya. Sebaliknya, tidak tertutup kemungkinan bahwa dengan memahami suatu karya kita akan mengenal agama penulis, pandangan-pandangan atau sikap hidup penulis terhadap suatu persoalan, keadaan social-budaya atau tradisi masyarakat yang sesungguhnya pada masa penciptaan/diciptakan dan sebagainya.

Kenyataan menunjukkan bahwa suatu karya tidak dapas lepas sama sekali dari factor-faktor ekstrinsik  tersebut. Karya yang mengambil latar (setting) zaman kerajaan tentu harus mendiskripsikan dengan tepat social-budaya-teknologi pada zamannya tersebut. Misalnya : kendaraan yang digunakan tentu saja kuda atau kereta, dan bukan bus, atau pesawat, demikian pula senjata yang digunakan juga menggambarkan zaman itu, misalnya : keris, golok, atau panah, dan bukan senapan mesin, bom TNT, nuklir dan sebagainya. Musiknya pun juga harus menggambarkan zaman itu, misalnya gamelan, bukan jaz, rok, atau dangdut. Dengan demikian tidak akan terjadi adanya ANAKRONISME (pertentangan/ketidaksesuaian) antara keadaan zaman dengan latar ceritanya.

Faktor ekstrinsik yang kadang-kadang juga berpengaruh terhadap suatu karya ialah karya lain. Tidak jarang suatu karya memiliki hubungan, atau tautan dengan karya lain, bahkan beberapa kemiripan/kesamaan dengan karya lain. Hal ini disebut dengan istilah INTERTEKSTUALITAS. Hal semacam ini bisa terjadi antara karya seorang pengarang dengan karya orang lain, dan dapat juga antara karya satu dengan karya lain dari seorang pengarang. Misalnya :  Puisi “Senja di Pelabuhan Kecil”  dan “Hampa” karya Chairil anwar menunjukkan adanya tautan peristiwa, yakni kegagalan penyair untuk menggapai cintanya ‘Sri Ayati’.

 

Untuk mengetahui lebih jelas dalam mengapresiasi suatu karya, maka berikut ini dapat digunakan untuk memberikan penilaian suatu karya, utamanya yang berbentuk fiksi.

 

Contoh kerangka membuat Resensi

 

I.                    Pendahuluan :

 

  1. Judul                            : (judul cerpen/novel)
  2. Pengarang                    : (nama pengarang/penulis)
  3. Penerbit                       : (nama penerbit buku cerpen/novel)
  4. Tahun terbit                 : …..

 

  1. Tebal buku       : (jumlah halaman buku cerpen/novel)
  2. Pelaku              : (nama-nama tokoh/pemeran dalam cerita)
  3. Sinopsis           : (ringkasan cerita/alur penceritaannya)

 

II.                 Isi :

  1. Tema, apa yang diangkat dalam prosa tersebut; apakah tema rumah tangga, cinta, perjuangan, harta warisan, atau tema apa saja yang terdapat dalam cerita pada cerpen/novel yang diresensikan tersebut. Adakah kaitannya dengan sejarah, atau peristiwa nyata, khayal atau realistis.
  2. Nasihat/pesan apay yang sebenarnya hendak disampaikan kepada pembaca melalui tema tersebut, falsafah/nilai-nilai apa yang bisa dipetik, apakah nilai relegius, nilai budaya, nilai moral, nilai patriotism, dan sebagainya. 
  1. Bagaimana jalan ceritanya, menggunakan alur maju atau flash back;  bagaiman alur cabang/degresinya, mengganggu alur utama atau tidak; masuk akalkah uruut-urutan kejadiannya, atau ada yang tidak masuk akal; adakah kejadian yang terlalu mengada-ada, adakah peristiwa-peristiwa mengejutkan, apakah selalu menimbulkan keingintahuan untuk kelanjutan ceritanya, konfliknya seru/tidak, penyelesaiannya masuk akal/tidak, berakhir ceritanya (sending) heppy atau sad ending.
  2. Berhasil/tidak pengarang menampilkan berbagai macam watak pelaku seperti bijaksana, sabar, licik, jahat, pemarah, pemurung, dan sebagainya. Bagaimana cara-cara/teknik, menunjukkan watak tokoh, apakah dengan dialog, deskripsi langsung, monolog, tanggapan antartokoh dan lain-lain.  Watak para pelaku konsisten atau tidak, adakah perubahan watak yang tidak beralasan.
  3. Di mana pengarang menempatkan dirinya, apakah pengarang masuk sebagai pelaku, atau hanya menceritakan orang lain, atau apakah pengarang masuk kea lam pikiran/perasaan ke dalam para pelaku (serba tahu), atau sebagai orang yang berada di luar cerita saja.
  4. Setting/latar, daerah/tempat/waktu/ruang/keadaan yang mana menjadi pengisahan dalam cerita (di mana, kapan, keadaannya bagaimana cerita itu terjadi) Untuk memberikan penilaian pada unsur ini persoalan kecocokan/ketidakcocokan antara zaman dengan isi ceritanya (anakkronisme). Termasuk

situasinya/suasananya apakah riang, sedih, tegang, santai, kecewa atau berbagai persoalan silih berganti , mampukah membawa pembacanya tenggelam dalam perasaannya.

  1. Bagaiman corak pemakaian bahasanya dalam cerita tersebut, baku, kaku, serius, gaul, puitis, atau corak bahasa daerah tertentu.

 

Semua aspek yang berkaitan dengan unsur-unsur tersebut di atas lebih lengkap dan baik jika diungkapkan secara tepat dan menyeluruh. Penulis resensi jendaknya memahami semua unsur yang terdapat di dalam cerita tersebut.

 

III.              Kesimpulan :

 

Bagaimana penilai secara umum terhadap suatu karya tersebut, baik atau tidak/keunggulan atau ada kekurangan, tunjukkan keistimewaannya karya tersebut, atau tunjukkan kekurangannya, perlunya buku itu dibaca atau tidak.

Dalam memberikan ppenilaian terhadap suatu karya, tidak harus menyebutkan semua unsur instrinsiknya, tetapi dapat dilakukan dengan mengulas beberapa unsur saja yang dipandang paling menarik, untuk disampaikan atau kejelaskan.

 

Contoh Resensi sederhana!

Novel Harimau! Harimau!  Karya Mochtar Lubis ini telah mendapat Hadiah Yayasan Buku Utama sebagai penulis sastra terbaik tahun 1975. Novel karya Mochtar Lubis ini juga diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Jerman, Belanda, juga dalam bahasa Jepang.

Novel ini menyajikan kisah petualangan di rimba raya yang dijalankan oleh sekelompok pengumpul dammar, yang dilakukan oleh tokoh Pak Haji, Wak Katok, Sanip, Buyung, dan tokoh lainnya. Kelompok orang tersebut dikejar-kejar seekor  harimau yang kelaparan.  Berhari-hari  mereka berusaha menyelamatkan diri, tetapi seorang demi seorang di antara mereka terus berjatuhan sebagai korban keganasan harimau liar itu.

Situasi mencekam ini membawa petualangan lain di dalam diri masing-masing pengumpul dammar ini.  Di bawah tekanan ancaman harimau ganas yang terus menerus memburu mereka, dalam diri mereka masing-masing terjadi proses refleksi atas dosa-dosa yang mereka perbuat.  Terjadilah gejolak yang menghantui atas pengakuan diri masing-masing. Di satu pihak menuntuk adanya pengakuan dosa yang pernah dilakukan oleh sekelompok angggotanya, tetapi di pihak lain berpendapat bahwa masalah dosa itu adalah urusan pribadi yang tidak perlu semua orang tahu.  Dari pergolakkan menghadapi ancaman yang sangat menakutkan ini terbukalah kesadaran mengenai kekuatan dan kelemahan diri mereka masing-masing, dan anggota kelompok yang lain. Bahkan ada yang sampai pada kesadaran bahwa sebelum membunuh harimau hutan, mereka harus bisa membunuh harimau yang ada dalam diri mereka sendiri.  Kesadaran ini membuat Buyung berani mengambil inisiatif untuk mengambil langkah rasional. Dan dengan mengikat Wak Katok, sebagai umpan, ternyata ia berhasil membunuh harimau yang selama berhari-hari memburu mereka.

Dari awal hingga akhir cerita, novel ini terus membawa pembacanya ke dalam situasi-situasi yang tegang secara silih berganti. Pembaca terus menerus disuguhi kejutan-kejutan yang tak terduga. Maka rugilah kalau belum membaca novel ini.

 

Pertanyaan:

 

  1. Unsur apakah yang pertama-tama dikemukakan dalam resensi tersebut?
  2. Unsur selanjutnya yang diuraikan mengenai  apa saja? Jelaskan!
  3. Tunjukkan ulasan yang paling ditonjolkan/dominan dalam resensi tersebut!

E.        APRESIASI PUISI

 

Apresiasi prosa maupun puisi, pada dasarnya menilai/memberikan penghargaan terhadap karya sastra yang berupa prosa atau puisi.

Guna memberikan penilaian/penghargaan terhadap suatu karya yang berupa prosa/puisi tersebut perlu menilai dari segi Internal dan Eksternalnya. Maka penilaian suatu karya sastra kita harus menilai dari kedua segi tersebut, yaitu unsur instrinsiknya dan unsur ekstrinsiknya. Pada pembelajaran sebelumnya telah dikenalkan unsur instrinsik dan ekstrinsik karya sastra yang berupa Prosa.

 

Unsur Instrinsik Puisi;

 

Unsur instrinsik puisi adalah unsur-unsur yang membangun dari dalam puisi.  Unsur pembangun puisi secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi bentuk BATIN dan bentuk FISIK puisi.  Unsur Batin puisi (hakikat) adalah isi atau kandungan yang hendak dikemukakan oleh penyair. Yang tergolong unsur batin puisi tersebut;

 

1)      Tema,

2)      Rasa/nada, dan

3)      Pesan/amanat

 

Ketiga unsur instrinsik di atas merupakan unsur batin puisi, yang tidak dipisah-pisahkan lagi keberadaannya dalam puisi.

 

Unsur instrinsik yang lain, yaitu adanya : 4) Rima/persajakan;  5) Ritma/irama;   6) Metrum/matra;   7) Diksi;     8) Gaya Bahasa

 

Suatu puisi terbangun dari unsur-unsur tersebut di atas;

1)      Tema; inti/pokok persoalan yang terkandung di dalam puisi tersebut. Tema muncul karena adanya suatu persoalan yang hendak diungkapkan oleh setiap pengarang.  Maka tema dapat berupa : keindahan, ketuhanan, kemanusiaan, kritik sosial; kegagalan; kebencian; perjuangan; kebahagiaan hidup; penderitaan hidup; kekecewaan dan sebagainya.

2)      Rasa dan nada; bagaimana perasaan penyair terhadap objek atau persoalan yang dikemukakan kepada masyarakat/pembaca, mungkinkah merasa iba, geram, benci, sabar, merendahkan diri, khusuk, pasrah, menentang, ragu, penasaran, kecewa, sinis,  dan sebagainya.  Banyak dijumpai puisi yang bertema sama, namun nilai rasanya berbeda. Puisi “Padamu Jua”  dan “Doa” karya    Amir Hamzah, sama-sama bertema “ketuhanan,”  tetapi terasa jauh berbeda rasa dan nadanya.  Coba anda cermati puisi berikut dan jelaskan perbedaannya.

 

 

PADAMU JUA

 

Di mana engaku?

Rupa tiada

Suara Sayup

Hanya kata merangkai hati.

            Engkau cemburu

            Engkau ganas

            Mangsa aku dalam cakarmuu

            Bertukar tangkap dengan lepas

            Nanar aku, gila sasar

            Sayang berulang padamu jua …

 

 

DOA

 

Denga apakah kubandingkan pertemuan kita, kasihku

Dengan samar spoi, pada masa purnama meningkat naik,

setelah menghalaukan panas payah terik

Hatiku terang menerima katamu, bagai bintang memasang lilinnya

Kalbuku terbuka menunggu kasihmu,

bagai sedap malam menyirak kelopak


3)      Pesan/amanat; nasihat apa yang hendak disampaikan oleh pengarang kepada pembacanya/penikmat, atau nilai-nilai apa yang hendak ditanamkan kepada pembacanya. Pesan pada puisi pada umumnya terikat oleh tema puisi itu sendiri. Pesan/amanat biasaya merupakan nilai-nilai yang layak dipetik atau perlu diteladani.

4)      Rima/persajakan; persamaan bunyi antarkata/antarbaris. Persamaan bunyi vocal disebut Asonansi.  Persamaan bunyi pada konsonan disebut : Aliterasi.  Persamaan bunyi dapat di awal, tengah, atau akhir kata/baris.  Perhatikan contoh berikut ini :

a.       Kaulah kandil kemerlap

Pelita jendela di malam gelap

b.       Kasihmu sunyi

Menunggu seorang diri

 

c.       Lalu waktu bukan giliranku

Mati hari bukan kawanku

d.       Hatiku terang menerima katamu bagai bintang memasang lilinnya

Kalbu terbuka menunggu kasihmu bagai sedap malam menyirak  kelopak

 

Ritma/irama; alunan naik turun, panjang pendek, atau keras lemahnya bunyi yang berulang-ulang atau berurutan sehingga membentuk keindahan.  Ritma tercipta oleh adanya perimbangan jumlah frasa, kata, atau suku kata pada setiap baring ungkapan dalam puisi tersebut. Perhatikan contoh berikut;

 

a.       Pagiku hilang/sudah melayang

Hari mudaku /sudah pergi

Kini petang/datang membayang

Batang usiaku/sudah tinggi

 

Adanya pula puisi yang iramanya ditandai oleh adanya pengulang kata yang sama dalam setiap baris untuk mengikat/menyatukan beberapa baris belakangnya, perhatikan contoh berikut;

 

b.       Tuhanku

Dalam termangu

Aku masih menyebut nama-Mu

Tuhanku

Aku hilang bentuk

Rwmuk

Tuhanku

Aku mengembara di negeri asing… (Doa, Chairil Anwar)

 

2)      Metrum/matra; pengulangan tekanan pada posisi-posisi tertentu yang bersifat tetap. Dalam lagu metrum ditandai dengan garis birama, dan tekanan keras pda umumnya jatuh pada awal setiap birama.

 

3)      Diksi; pilihan kata secara cermat dari segi bunyi maupun makna sehingga menjadi wahana ekspresi yang maksimal dan bernilai estetis. Karena tiap kata memiliki nuansa makna yang berbeda, kata-kata yang sudah tepat dalam suatu puisi biasanya sangat sulit diganti dengan kata lain.

 

4)      Majas/gaya baahasa (bahasa figurative); cirri ata kekhasan kebahasaan yang digunakan oleh setiap penulis yang mencakup penggunaan struktur kebahasaan, pilihan kata, ungkapan, peribahasa/bidal/pepatah dan sebagainya yang dibangkitkan oleh penulis sehingga akan menimbulkan efek tertentu bagi pembacanya.

 

Gaya bahasa dapat diklasifikasikan;

  1. Majas perbandingan
  2. Majas pertentangan
  3. Majas pertautan
  4. Majas perulangan

 

Majas perbandingan, meliputi :

 

  1. Simile (perumpamaan), perbandingan dua hal yang pada dasarnya berbeda, tetapi sengaja dianggap sama. Gaya perbandingan secara eksplisit dijelaskan dengan pemakaian kata pembanding : laksana, ibarat, bagai, sebagai, dan umpama. (contoh : Gadis itu laksana bunga yang sedang mekar, Apa yang ia lakukan ibarat mencari jarum dalam sekam).
  2. Metafora; membandingkan secara langsung antara dua hal atau benda tanpa dinyatakan secara eksplisit (secara implisit) dengan menggunakan kata seperti dan sejenisnya. Metafora merupakan gaya bahasa perbandingan yang paling singkat, padat, dan tersusun rapi. (contoh : pemuda adalah tulang punggung Negara).
  3. Personifikasi (penginsanan), yaitu melekatkan sifat-sifat insane (hidup), pada barang yang tidak bernyawa (mati) pada ide yang abstrak. (contoh : nyiur melambai-lambai ditembus angin)
  4. Antitesis,  membuat perbandingan (komparasi) antara dua antonym atau kata-kata yang menyatakan makna bertentangan satu sama lain) (Contoh : anak itu malah bangga atas kegagalannya…)
  5. Pleonasme, pemakaian kata yang berlebihan (mubazir), yang sebenarnya tidak perlu.  Tanpa adanya kata tersebut tidak akan merubah makna aslinya. (contoh : Sayalah yang memmbawa buku itu dengan tangan saya sendiri.  Saya melihat kecelakaan dengan mata kepala saya sendiri)
  6. Tautologi; hampr sama dengan pleonasme, tetapi pengulangan kata itu hanya mengulangi secara berlebihan dari kata yang lainnya. (contoh : Sang Ibu mencintai anak yang merupakan darah dagingnya sendiri;  Dody mengawini jada, wanita yang ditinggal mati suaminya)

 

Majas Pertentangan, meliputi :

  1. Hiperbola; pernyataan yang sengaja melebih-lebihkan isi peernyataan, baik dari segi jumlahna, ukurannya, maupun sifatnya, dengan maksud untuk memperhebat atau meningkatkan kesan serta pengaruhnya. (contoh : Mayat bergelimpangan di jalan akibat bencana tsunami. (padahal hanya ada beberapa orang yang meninggal)
  2. (Jantungku hampir copot menyaksikan acrobat yang berjalan di atas kabel listrik) (Aku mengenali pencuri ini dari ujung kaki sampai dengan ujung rambut).
  3. Litotes; kebalikan dari hiperbola,  yaitu pernyataan yang menyederhanakan, atau mengecilkan dari kenyataan yang sesungguhnya.  Dengan maksud untuk merendahkan, tidak ingin menonjolkan.  (contoh : Terimalah pemberian kami yang tidak berharga ini) (Kalau Ibu berkenan mampirlah ke gubuk saya).
  4. Ironi;  makna yang bertentangan dengan maksud berolok-olok. (Contoh : pandai benarkau mengerjakan soal semudah ini tak ada yang benar) (Nana memang anak paling rajin, kalau bangun tidur tidak pernah kurang dari jam 09.00)
  5. Paralipsis;  suatu formula yang digunakan sebagai sarana untuk  menerangkan bahwa seseorang tidak mengatakan apa yang tersirat dalam kalimat itu sendiri. (contoh : Bimo mempersunting seorang gadis cantik. = maksudnya  seorang janda cantik) (bukankan Negara ini masih terjajah = maksudnya sudah merdeka)
  6. Paradoks;  pernyataan dua hal yang saling bertentangan satu sama lain. (contoh : Dia mengalami kesepian do tengah keramaian kota Jakarta ini)
  7. Klimaks; pernyataan yang mengandung beberapa pikiran/gagasan dan disusun secara berurutan dari hal yang sederhana meningkat ke hal yang rumit, dari hal yang kecil ke hal yang besar, dari hal yang kurang penting ke hal yang paling penting.  (contoh : Tujuan pembelajaran bahasa Indonesia agar siswa memperoleh ketrampilan menyimak, membaca, berbicara, dan menulis.) (Jangankan seminggu, sebulan, setahun atau seminggu pun kami tetap menunggumu)
  8. Antiklimaks; Kebalikan dari klimaks,  (contoh : jangankan seribu, seratus pun aku tidak sanggup member)
  9. Sinisme; sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung  ejekan kepada seseorang (seperti halnya ironi yang lebih besar sifatnya)                            (contoh : memang  Andalah yang paling kaya mampu menguasai pelabuhan-pelabuhan di negeri ini)
  10. Sarkasme; sindiran pedas dan menyakiti hati. (contoh : tingkah lakumu sungguh memalukan kami) (kerakusannya membawa malapetaka bagi kehidupannya.

 

Majas Pertautan

  1. Metonimia; suatu majas yang menggunakan nama cirri atau nama hal yang dihubungkan dengan nama orang, barang, atau hal sebagai penggantinya.  (contoh : Sering terjadi pena mematikan langkah seorang tokoh dalam karir politiknya./pena = tulisan) (Ia baru saja membeli Mitsubishi dengan harga yang murah/Mitsubishi = mobil) (Saya suka membaca Romo Mangunwijaya/= karya Romo Mangunwijaya)
  2. Sinekdoke; menyebutkan bagian sebagai pengganti nama keseluruhannya atau kebalikannya. Sinekdoke terdiri atas dua macam, yaitu pars pro toto dan totem pro parte. Pars pro toto adalah menyebutkan sebagian dari suatu hal untuk menyatakan keseluruhannya. Totem pro parte adalah menyebutkan keseluruhan untuk menyatakan sebagian. (contoh : Jakarta dikecam oleh Negara-negara Barat berkaitan dengan kasus pelanggaran HAM=Pars pro toto) (Indonesia berhasil menundukkan China dalam pertandingan Tomas Cup = totem pro parte)
  3. Alusi/kilat; berupa acuan yang menunjuk secara tidak langsung ke suatu peristiwa atau tokoh dengan anggapan bahwa hal itu sudah diketahui bersama, baik penutur/penulis maupun pendengar/pembaca. (contoh : Peristiwa Mei 1998 sungguh merupakan tragedy nasional) (Bencana Aceh merupakan bencana nasional)
  4. Eufisme; ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti perkataan yang dirasakan kasar, yang mungkin menyinggung perasaan dan merugikan.  (contoh : Wanita yang setiap hari melewati depan rumah ini, agaknya kurang setengah) (Para tunakarya disalurkan pemerintah menjadi TKI)
  5. Eponim; pernyataan yang mengandung nama seseorang yang sering dihubungkan dengan sifat/bentuk tertentu (contoh : Dewi fortuna belum memihak kepada kesebelasan kita) (Dewi ruci kebanggaan Indonesia mengarungi lautan luas tanpa rasa takut.)
  6. Epitet; mengandung acuan yang menyatakan suatu sifat atau cirri yang khas dari seseorang atau sesuatu hal. (contoh : raja siang dihambat awan tipis yang berarak-arak di ufuk timur.) (mengapa merpatiku pergi tanpa meninggalkan pesan)

 

  1. Erotesis/pertanyaan retoris; berupa pertanyaan yang tidak menuntut suatu jawaban (Contoh : Apakah kita biarkan korupsi merajalela di negeri ini) (pendidikan nasional memang sedang merosot. Apakah wajar jika semua kesalahan ditimpakan kepada para guru?)
  2. Paralelisme; kesejajaran dalam pemakaian kata-kata/frase-frase yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama.  (contoh : Kaum pria maupun kaum wanita sama kedudukannya di depan hokum) (potensi kekayaan Indonesia terdapat di darat dan laut)
  3. Elipsis; penghilangan kata yang memenuhi bentuk kalimat berdasarkan struktur kalimat.
  4. Asindenton;  acuan  padat  beberapa kata, frase, atau klausa, yang sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung, tetapi hanya dipisahkan oleh tanda koma. (contoh : kami datang, kami menang dalam pertandingan itu.) (Politik kepentingan sering memanfaatkan sentiment agama, suku, ras, dan antargolongan) (seminar itu membahas masalah narkoba, seks bebas, kriminalitas yang melibatkan para remaja)
  5. Polisindenton; seperti halnya asidenton, namun disusun secara berurutan dan menggunakan kata penghubung (contoh : Adik suka boneka panda dan mobil-mobilan, dan alat masak-masakan)

 

Majas Perulangan :

  1. Aliterasi; perulangan konsonan yang sama pada seluruh baris.  ( contoh : bila biduan berani berkicau) (kata kanda kala kacau)
  2. Asonansi; jenis majas repetisi yang berupa perulangan  pada vocal yang sama. (contoh :  Sudah luka tujuan terjungkal) (anak dara aman dijaga)
  3. Antanaklasis;  perulangan kata yang sama, tetapi maknanya berbeda. (contoh : Di Aman ternyata tidak merasa aman) (Kembang di taman ini tidak berkembang) (Sabar ternyata bukang orang yang sabar)
  4. Kiasmus; majas repetisi berupa perulangan kata dan sekaligus terdapat inverse hubungan antara dua kata dalam kalimat. (contoh : Sering orang beranggapan dirinya pintar merasa bodoh, dan orang yang bodoh menganggap dirinya pintar) (jangan memutarbalikkan fakta yang benar menjadi salah, dan yang salah menjadi benar) 
  1. Anafora; perulangan kata pertama pada setiap baris atau setiap kalimat. (contoh : Aku memandang sang bulan dalam angan//aku tak sanggup melepas rinduku padanya//belajar merupakan aktivitas insane//belajar tidak mengenal batas)
  2. Epistrofa; perulangan kata/frase pada akhir baris secara berurutan. (contoh : duduk adalah hidup//berjalan adalah hidup//bermain itu hidup//bekerja itu hidup//dan belajar juga adalah hidup)
  3. Simploke; perulangan pada awal dan akhir secara berurutan. (contoh : engkau meminta aku duduk, aku bilang baiklah//engkau meminta aku beristirahat. Aku bilang baiklah//engkau meminta aku bangun, aku bilang baiklah)

 

PERIBAHASA

  1. Pepatah
  2. Perumpamaan
  3. Ungkapan

 

Pepatah

Jenis peribahasa yang dinyatakan dengan kalimat yang tetap susunannya dan mengiaskan suatu maksud tertentu. Yang dikiaskan adalah suatu keadaan atau kelakuan seseorang. Pepatah juga mengandung nasihat atau ajaran dari orang-orang tua.  (contoh : bermain air basah, bermain api hangus = setiap pekerjaan atau perbuatan ada akibatnya) (air jernih ikannya jinak = negeri yang subur/teratur pemerintahannya penduduknya sopan santun)

 

Perumpamaan

Jenis peribahasa yang berupa perbandingan dan dinyatakan dengan kalimat yang tetap susunannya serta mengiaskan waktu tertentu. Perumpamaan mengungkapkan keadaan atau kelakuan seseorang dengan mengambil perbandingan dari alam. Perumpamaan biasanya didahului kata-kata yang menyatakan perbandingan,  kata seperti, sebagai, laksana, bak, bagai, seumpama, macam, umpama.

 

(contoh : seperti abu di atas tunggul = seseorang yang sangat goyah kedudukannya) (Bagai berpijak bara hangat = seseorang yang sangat gelisah karena suatu masalah)

 

Ungkapan

Kelompok kata yang bersifat tetap dan digunakan untuk menyatakan sesuatu maksud dengan arti kias. (contoh : Perundingan Israel dan Palestina menemui jalan buntu = mengalami kegagalan) ( Dia patah hati karena dikhianati kekasihnya = kecewa)

 

TUGAS

  1. Pernyataan di bawah ini tergolong bermajas apa?Jelaskan!

 

  1. Agama adalah kompas kita dalam mengarungi samudera kehidupan yang penuh dengan badai dan gelombang.
  2. Suka duka hidup ini membuat kami makin menyatu.
  3. Membeli pakaian tidak usah yang mahal-mahal, cukup seharga seratus ribu, tujuh puluh lima, atau lima puluh ribu pun sudah pantas dipakai
  4. Mukanya pucat bagai bulan kesiangan
  5. Anak Bapak belum waktunya naik kelas
  6. Orang yang berubah akalnya itu perlu dibawa ke RSJ
  7. Dunia terasa runtuh saat aku menghadapi kenyataan seperti itu
  8. Coret-coret di tembok itu bagus sekali
  9. Dari kecil, dewasa hingga setua ini belum pernah merasakan kedamaian
  10. Hanya segelas air putih ini yang dapat kami sajikan
  11. Ia merasa kesepian karena ditinggalkan si jatung hatinya
  12. Ia berlangganan Kompas sejak bekerja di kantor ini
  13. Tutur katanya halus tapi menyayat hati
  14. Hanya surat inilah yang menghubungkan kami dengan dia
  15. Di sini dia lahir, di sini berjuang, dan di sini ia meninggal
  16. Lintah darat beroperasi di mana-mana
  17. Bagai telor di ujung tanduk
  18. Didatanginya tiap pintu untuk mengharap belas kasihan
  19. Indonesia menang dalam perebutan piala Thomas 
  1. Tidak, tidak mungkin ia berbuat sekejam itu
  2. Berhari-hari ia terbenam dalam buku
  3. Pikirannya melayang-layang entah ke mana
  4. Aku mau hidup seribu tahun lagi
  5. Hidup mati kuingin bersamamu
  6. Suaranya merdu bagai buluh perindu

 

 

  1. Apa maksud peribahasa dan ungkapan di bawah ini!

 

  1. Air beriak tanda tak dalam
  2. Air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga
  3. Air susu dibalas dengan air tuba
  4. Anak di pangkuan  dilepaskan, beruk di rimba disusukan
  5. Bagai air di atas daunt alas
  6. Barang siapa menggali lubang, dia juga terperosok ke dalamnya
  7. Belakang parang pun kalau diasah tajam juga
  8. Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing
  9. Besar pasak daripada tiang
  10. Besar kapal besar pula gelombangnya
  11. Bila mengikat hendaknya bertali
  12. Bunga yang harum itu ada juga durinya
  13. Buruk muka ceermin dibelah
  14. Datang tampak muka, pergi tampak punggung
  15. Gajah berjuang sama gajah, pelanduk mati di tengah-tengah
  16. Bergantung pada akar yang lapuk
  17. Harapkan burung terbang tinggi punai di tangan dilepaskan
  18. Sehari selembar benang , lama-lama menjadi kain
  19. Hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri, baik juga di negeri sendiri
  20. Indah kabar dari rupa
  21. Kalah jadi abu menang jadi arang
  22. Kalah membeli menang memakai
  23. Karena nila setitik rusaklah susu sebelanga
  24. Berkata peliharakan lidah, berjalan peliharakan kaki
  25. Kasturi binasa karena baunya, gajah mati karena gadingnya
  26. Lancar kaji karena diulang, lancar pasar karena ditempuh
  27. Berlayar sampai ke pulau, berjalan sampai ke batas
  28. Lempar baru sembunyi tangan
  29. Lubuk akal tepian ilmu
  30. Mahal tak dapat dibeli murah tak dapat diminta
  31. Di mana tak ada elang, kata belalang akulah elang
  32. Manis jangan cepat ditelan pahit jangan cepat dimuntahkan
  33. Disangka panas hingga petang kiranya hujan turun tengah hari
  34. Takkan lari gunung dikejar hilang kabut tampaklah dia
  35. Tangan mencencang bahu memikul

 


Simaklah bacaan puisi di bawah ini!

 

HUJAN BULAN JUNI

Oleh Sapardi Djoko Damono

 

Tak ada yang lebih tabah

Dari hujan bulan juni

Dirahasiakannya rintik rindunya

Kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak

Dari hujan bulan juni

Dihapusnya jejak-jejak kakinya

Yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif

Dari hujan bulan juni

Dibiarkannya yang tak terucapkan

Diserap akar pohon bunga itu

 

Puisi tersebut di atas ada dua majas yang dominan yaitu;

1.      Majas personifikasi;  yakni membandingkan hujan dengan sifat manusia, hujan memiliki sifat tabah, bijak, dan arif. Sifat-sifat yang demikian biasanya hanya dimiliki oleh manusia.

2.      Majas paralelisme; perulangan kata setiap baris, yaitu “tak ada yang lebih”

 

Tentukan yang termasuk majas  hiperrbola, puisi di bawah ini!

 

Kepada Peminta-minta

Baik-baik aku akan menghadap Dia

Menyerahkan diri dan segala dosa

Tapi jangan tentang lagi aku

Nanti darahku jadi beku

 

Jangan lagi kau bercerita

Sudah tercacar semua di muka

Nanah meleleh dari muka

Sambil berjalan kau usap juga

….

 

Tentukan yang termasuk majas Personifikasi penggalan puisi di bawah!

 

Anak Molek V

 

Malas dan malu nyala pelita

Seperti meratap mencuri mata

Seisi kamar berduka cita

Seperti takut gentar berkata

 

 

 

Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan cermat!

 

(1)                    Kembang Setengah Jalan

Oleh : Armin Pane

Mejaku hendak dihiasi

Kembang jauh dari gunung

Kau petik sekarang kembang,

Jauh jalan panas hari

Bunga layu setengah jalan

Pertanyaan :

  1. Bagaimana perasaan anda mendengar pembacaan puisi tersebut?
  2. Setelah memahami isi puisi tersebut di atas, apa temanya?
  3. Apa yang dimaksud ‘kembang jauh dari gunung’ pada lambing ungkapan tersebut? Jelaskan!
  4. Apa yang dimaksud pada ungkapan ‘jauh jalan panas hari?’
  5. Jelaskan makna ‘bunga layu setengah jalan?’

 

TUGAS!

 

Buatlah paraphrase puisi tersebut di atas dalam bentuk prosa!

 

(2)    Perpisahan

 

Akhirnya peluit pun dibunyikan

Buat penghabisan kali kugenggam jarimu

Lewat celah kaca jendela

Lalu perlahan-lahan jarak antara kita

Mengembang jua

Dan tinggallah rel-rel, peron dan lampu

Yang menggigil di angin senja      

 (Elha)

 

Pertanyaan :

  1. Tentukan tema puisi tersebut di atas? Tunjukkan unsur pendukung temanya
  2. Bagaimana perasaan yang terungkap dalam isi puisi di atas
  3. Tentukan setting perpisahan itu terjadi
  4. Bagaimana suasana yang dibangun gambaran perpisahan antara dua tokoh yang terjadi dalam  puisi tersebut!
  5. Majas apakah yang diungkapkan melalui kata “tinggallah rel-rel ,  peron, dan lampu yang menggigil di angin senja”

 

Tugas!

Buatlah paraphrase puisi di atas dalam bentuk prosa!

 

(3)    Sajak Putih

Bersandat pada tari warna pelangi

Kau depanku bertudung surya senja

Di Hitam matamu kembang mawar dan melati

Harum rambutmu mengalun bergelut senda

            Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba

            Meriak muka air kolam jiwa

            Dan dalam dadaku memerdu lagu

Menarik menari seluruh aku

                        Hidup dari hidupku, pintu terbuka

                        Selama matamu bagiku menengadah

                        Selama kau darah mengalir dari luka

                        Antara kita mati datang tidak membelah

                        …                                                        (Chairil Anwar)

Pertanyaan :

  1. Tentukan tema puisi di atas? Jelaskan!
  2. Jika puisi tersebut dikisahkan, kapan terjadinya? Darimana Anda tahu?
  3. Bagaimana suasana yang terjadi menuurut isi puisi tersebut?
  4. Apa maksud ungkapan “di hitam matamu kembang mawar dan melati”, dan menggunakan majas apakah ungkapan tersebut?
  5. Bagaimana suasana perasaan hati si penyair/penulis/pengarang pada saat itu?
  6. Menggunakan majas apakah dari pilihan kata “sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba”
  7. Jika dibuat prosa, Bagaimana hubungan antar tokoh dalam puisi tersebut? Jelaskan!

 

Tugas!

Buatlah paraphrase puisi tersebut di atas menjadi Prosa!

(4)    Doa

 

Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita kekashku?

Dengan senja samar spoi pada masa purnama meningkat naik,

Setelah menghalaukan panas payah terik

Angin malam menghembus lemah, menyejuk badan

Melambung rasa menayang pikir

Membawa angan ke bawah kursimu …

            Hatiku terang menerima katamu, bagai bintang memasang lilinnya

            Kalbuku terbuka menunggu kasihmu, bagai sedap malam menyirak kelopak

                  Aduh kekasihku, isi hatiku dengan katamu, penuhi dadaku dengan cahyamu

                  Biar bersinar mataku sendu, biar berbinar gelakku rayu!

                                                                        (Amir Hamzah)

 

Pertanyaan :

 

  1. Siapa yang dimaksud dengan panggilan kekasihku dalam puisi tersebut?
  2. Bagaimana perasaan pengarang yang terungkap dalam puisi tersebut? Tunjukkan
  3. Manakah yang menyatakan sikap pengarang mengungkapkan perasaannya? Jelaskan!
  4. Apa yang dimaksud “membawa angan ke bawah kursimu?” pada puisi tersebut di atas? Jelaskan!
  5. Adakah unsur rima pada pilihan kata “Hatiku terang menerima katamu, bagai bintang memasang lilinnya”  Ungkapan tersebut menggunakan majas apa?
  6. Tunjukkan adanya unsur rima pada pilihan kata “kalbuku terbuka menunggu kasihmu, bagai sedap malam menyirak kelopak”.  Ungkapan tersebut menggunakan majas apa?

 

Tugas!

Buatlah paraphrase puisi di atas ke dalam prosa!

 

Perempuan-Perempuan Perkasa

Oleh : Hartoyo Andangjaya

 

Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta, dari manakah mereka

Ke stasiun kereta mereka datang dari bukit-bukit desa

Sebelum peluit kereta pagi terjaga

Sebelum hari bermula dalam pesta kerja

Perempuan-perempuan yang membawa bakul dalam kereta, ke manakah mereka

Di atas roda-roda baja mereka berkendara

 

Mereka berlomba dengan surya menuju gerbang kota

Merebut hidup di pasar-pasar kota

Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta, siapakah mereka

Mereka ialah ibu-ibu yang perkasa

Akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota

Mereka:cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa.

 

1.      Siapakah yang dilukiskan perempuan-perempuan perkasa!

2.      Bagaimana kegiatan yang dilakukan dalam gambaran perempuan-perempuan perkasa dalam puisi tersebut?

3.      Bagaimana sikap penyair terhadap perempuan-perempuan perkasa, yang dilukiskan dalam puisi tersebut

4.      Termasuk majas apakah:

a.      “Sebelum peluit kereta pagi terjaga”

b.      “Sebelum hari bermula dalam pesta kerja”

                c.      “mereka ialah ibu-ibu yang perkasa, akar-akar yang melata dari tanah perbukitan                         turun ke kota”